Jumat, 24 Oktober 2008

LEMAHNYA PRODUK LOKAL DI TENGAH GLOBALISASI DAN LIBERALISASI EKONOMI

Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si

1. LATAR BELAKANG

Proses industrialisasi telah diusung oleh banyak negara baik maju maupun berkembang untuk memajukan bidang perekonomian mereka. Keadaan ini dipicu oleh adanya momentum revolusi industri yang kemudian menular ke berbagai cakupan wilayah lainnya. Tentu saja hal tersebut sesuai dengan tuntutan zaman dimana masyarakat sudah memiliki daya intelektualitas yang tinggi sehingga menyebabkan berbagai aspek kehidupan di dunia juga harus mengimbanginya.

Globalisasi merupakan sebuah tema besar dalam setiap pembahasan yang melibatkan semua pihak baik di tingkat internasional maupun di tingkat yang lebih nasional dan lokal. Selain itu, globalisasi juga merupakan bahasan yang sering diperdebatkan dimana konsep globalisasi bukan merupakan sebuah keadaan yang stagnan dan mutlak adanya. Prosesnya terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga pandangan semua pihak terhadap konsep globalisasi yang ditawarkan dapat berbeda satu sama lain.

Banyak pihak yang mengagungkan konsep globalisasi sebagai sebuah proses yang dapat semakin meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang tidak pernah dicapai sebelumnya bagi semua kalangan baik negara maupun non-negara. Tidak sedikit pula yang menyakinkan bahwa konsep globalisasi yang diterapkan saat ini merupakan sebuah proses yang justru telah mengakibatkan sebuah keadaan yang lebih buruk ketimbang masa-masa sebelumnya terutama dalam hal kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan.

Globalisasi juga merupakan sebuah kondisi dimana terjadi pemadatan ruang dan waktu, sehingga jarak dan waktu sudah bukan masalah lagi untuk sebuah hubungan. Kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi, transportasi dan informasi telah membawa perubahan begitu radikal dalam setiap segi kehidupan manusia. Salah satu dampaknya adalah timbulnya sebuah kesadaran bahwa manusia tidak tinggal sendirian dan bukanlah sebuah hal yang bijak untuk bertindak menurut ketentuan sendiri.

Akibatnya banyak bermunculan kelompok kerjasama baik bilateral, multilateral, regional maupun internasional seperti munculnya International Governmental Organizations (IGO’s) seperti United Nations, OIC (Organization of Islamic Countries), maupun Non-Aligned Movement. Selain itu, kelompok civil society dalam hal ini tidak mau ketinggalan, mereka banyak mendirikan NGO (Non-Governmental Organizations) yang bergeral di banyak bidang mulai dari sosial, politik, lingkungan, gender, ekonomi, budaya dan masih banyak lagi.

Adanya akses perdagangan bebas melalui kelompok kerjasama tersebut, serta peningkatan volume perdagangan merupakan dampak globalisasi, terutama kaitannya dengan sistem ekonomi liberal. Keadaan ini memungkinkan adanya proses kompetisi antara para produsen guna memasarkan produknya ke seluruh dunia.

Kompetisi para produsen tersebut tidak hanya di kalangan pedagang dunia melainkan juga antar pedagang domestik yang saling bersaing di antaranya ataupun dengan pedagang internasional. Para pedagang domestik tersebut berusaha menarik konsumen yang sepertinya sudah mulai suka bahkan fanatik dengan ”kelebihan” yang disuguhkan oleh produk-produk yang mendunia.

Keberadaan pedagang atau pengusaha lokal agaknya membawa iklim perekonomian yang agak menyejukkan disamping untuk menambah devisa yang semakin berkurang akibat pemborosan pembayaran importir, mereka mampu menyelipkan nilai-nilai kebudayaan yang setidaknya mampu menumbuhkan rasa kecintaan akan produk bahkan bangsa itu sendiri.

2. GLOBALISASI DAN PASAR BEBAS

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Proses globalisasi yang baru terjadi selama 10 tahun terakhir ini telah mengubah dunia secara total dan radikal. Walaupun begitu, benar globalisasi telah terjadi pada masa lampau, tetapi globalisasi yang sekarang tidak bisa dibandingkan dengan yang masa lampau. Tiga faktor yang membedakan: velocity, intensity, dan extensity.

Oleh karena tiga faktor ini maka globalisasi menimbulkan dampak yang jauh lebih dahsyat daripada masa sebelumnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa globalisasi telah melabrak segala sesuatu sampai lumat sehingga tidak menyisakan kebudayaan lokal dan negara-bangsa sama sekali. Hal ini berupa proses transformasi, bukan pengurangan atau penghilangan.

Globalisasi ditandai dengan masuknya hal-hal tertentu yang tentu saja membonceng sebuah kepentingan entah itu dalam hal nilai-nilai, ideologi, kekuasaan ataupun ekonomi. Salah satu yang tidak tampak boncengan kepentingannya dalam era globalisasi adalah dalam bentuk produk, dimana produk-produk tersebut bisa masuk dengan leluasa antar negara karena adanya sistem perekonomian yang bebas.

Pada era globalisasi perdagangan tidak lagi mengenal batas suatu negara, sehingga akan terjadi persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Globalisasi sebagai tantangan zaman menuntut adanya pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Kebebasan tersebut seakan menghapus jarak teritorial antar negara. Teknologi informasi memberikan sumbangsih cukup besar terhadap arus global yang tak hanya berpengaruh terhadap dunia perekonomian saja, tetapi akan berpengaruh pada kepentingan politik dalam negeri. Misalnya tentang pengambilan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut diantaranya: Perpres no. 36 tahun 2004 tentang kepemilikan hak tanah, UU nomor 32 tentang ketenaga kerjaan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dan baru-baru ini ramai juga dibicarakan tentang rencana kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang penanaman modal asing.

Pasar bebas memungkinkan perusahaan-perusahaan level internasional untuk memasarkan produknya ke berbagai negara. Termasuk pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Produk impor yang dipasarkan dapat beredar secara bebas ke seluruh pelosok negeri. Keberadaan produk impor telah menggeser hasil produksi dalam negeri. Padahal industri lokal pada dasarnya mampu membuat barang yang kualitasnya tidak kalah dengan perusahaan asing. Namun ternyata realita mengatakan masyarakat ternyata lebih mementingkan gengsi. Implementasi gengsi tersebut mungkin dilakukan dengan mengkonsumsi produk impor.

Globalisasi dan pasar bebas memang tak dapat dicegah. Namun akibatnya, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia. Gencarnya produk-produk impor yang menyerbu Indonesia membuat cukup membuat khawatir banyak pihak. Padahal, Indonesia harus mampu menciptakan infrastruktur yang memadai guna mengantisipasi serbuan produk-produk impor demi menjaga ketahanan ekonomi nasional.

2.1. Produk Impor dan Konsumtivisme

Gejala globalisasi yang pada saat ini sungguh tidak terelakkan. Televisi dan koran membawa berita-berita dari segala sudut dunia ke meja; bukan hanya berita perang, tapi juga berita olahraga, fashion, musik, dan sebagainya. Orang kini bisa marah, sedih, dan gembira terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ia lihat dengan mata kepala sendiri.

Sementara itu, produk-produk yang tidak bisa dibuat di tanah air, memenuhi rak-rak toko dan etalase. Mereka didatangkan dari segala penjuru dunia, dari minuman, sepatu, makanan, baju, celana, hingga mobil mewah. Produk-produk tersebut, menurut James W. Carey, tercipta atas dasar kebudayaan berdasarkan proses komunikasi sosial yang terwujud melalui produk sosial kehidupan, seperti mitos, mode, makanan, bahasa dan sebagainya. Fenomena yang terjadi saat ini adalah sebagian dari masyarakat Indonesia cenderung semakin menyukai produk-produk sosial tersebut, produk impor. Alasan masyarakat memilih produk impor selain karena alasan mutu, juga karena alasan desain dan harga jual yang sangat kompetitif.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded” yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Masuknya produk-produk impor tidak hanya dapat ditemui di mall-mall saja, bahkan trade center sampai pasar-pasar tradisional pun, produk impor misalnya dari Tiongkok, banyak memenuhi rak-rak para pedagang. Lebih hebat lagi, para pedagangnya pun ada yang langsung berasal dari Tiongkok. Hanya bisa satu-dua kata bahasa Indonesia, para pedagang dari Tiongkok itu lebih mengandalkan kalkulator untuk memberi tahu harga barang dagangannya.

Di pusat perbelanjaan, produk asal Amerika dan Eropa, juga memenuhi hampir seluruh area perdagangan yang ada. Mulai dari produk kosmetika, busana dan aksesorinya, tas, sepatu, bahkan sampai produk-produk perawatan kesehatan, seperti Gucci, Louis Vuitton, Armani, Prada, Dunhill, Zegna, Ferragamo, Tiffany & Co, Tuleh, Mulberry, Issey Miyake, Kate Spade, Escada, Cartier, Fendi, Chanel, Diesel, Chloe, Hermes, Coach, Polo, Ralph Lauren, dan masih banyak lagi nama asing. Begitu pula dengan berbagai makanan dan minuman seperti Starbucks, McDonald’s, BreadTalk dan sebagainya.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded”.

Mental konsumen seperti inilah yang mengakibatkan munculnya budaya baru dimana tingkat konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu semakin tinggi, konsumtif. Fenomena seperti ini tidaklah mengherankan, terutama dengan menjamurnya gerai-gerai fashion karya desainer internasional dan juga berbagai jaringan ritel asing yang tumbuh subur berbarengan dengan bermunculannya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia.

Fenomena remaja yang sudah melek merek hanya salah satu contoh gaya hidup konsumtif yang menghinggapi masyarakat kita, seperti juga merayakan ulang tahun di hotel berbintang, menikmati segelas cokelat panas di kafe, atau sekadar nongkrong di mall.

Hidup hemat dan menabung tidak lagi dipahami oleh kebanyakan anak muda zaman sekarang. Pemimpin atau tokoh panutan menurunkan budaya konsumtif kepada rakyat atau audiensnya, seperti orangtua menularkan kepada anak-anaknya dengan menghujani mereka dengan barang-barang atau fasilitas mewah lain untuk menebus rasa bersalah karena tak cukup meluangkan waktu untuk anak.

Iklan yang persuasif dan berbagai strategi pemasaran agresif membuat masyarakat semakin dalam terjebak arus konsumtivisme atau kecanduan belanja yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional. Konsumtivisme sudah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia yang separuh lebih penduduknya masih miskin (diukur dari standar kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari).

Fenomena seperti ini, sebenarnya bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, termasuk negara yang (sudah) bukan komunis. Konsumtivisme adalah dampak dari globalisasi dan sistem kapitalisme modern yang mendasarkan pada tata nilai materialistis, mulai dari tingkah laku, pola pikir, hingga sikap.

Masyarakat menengah perkotaan di Indonesia, seperti juga di negara Asia lain, bahkan lebih agresif menjiplak gaya hidup konsumtif ketimbang masyarakat di negara asal budaya konsumerisme itu sendiri, Amerika. Contohnya fanatisme pada produk-produk bermerek seperti merk celana jeans Levi’s, baju Polo, tas Gucci serta sepatu olahraga Adidas, dan budaya konsumsi makanan cepat saji dimana yang paling terkenal dengan franchisenya yaitu McDonald’s.

Kalangan peritel menyebut bertumbuhannya mall-mall dengan ikon- ikon konsumerisme Barat di Indonesia sebagai strategi menjemput bola. Sebelum hadirnya mal-mal mewah ini, orang kaya Indonesia harus berburu hingga ke Singapura, Eropa, atau AS untuk mendapatkan barang-barang bermerek dari pusat-pusat mode internasional seperti Paris, London, Italia, dan New York.

Hal serupa juga terjadi untuk produk makanan, kosmetik dan toiletries (keperluan kamar mandi), perlengkapan rumah tangga dan lain-lain, dengan hadirnya jaringan ritel global seperti Carrefour, Giant, dan Wal Mart. Angka penjualan barang-barang bermerek dan juga konsumsi consumer goods (barang kebutuhan sehari-hari) lain terus melonjak dramatis dari tahun ke tahun, tidak peduli apakah perekonomian dalam kondisi sulit atau tidak.

Setiap dua dari 10 konsumen kelas menengah Indonesia yang disurvei AC Nielsen mengatakan, mereka memilih membeli produk karya desainer internasional, kendati 90 persen dari mereka menganggap barang tersebut terlalu mahal dan kualitasnya tidak istimewa. Hal tersebut membuktikan bahwa mereka membeli produk-produk itu lebih untuk status sosialnya di masyarakat.

Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite. Golongan baru ini melalui identitas barunya, seperti yang diungkapkan Stryker (1996) “ketika posisi sosial telah terinternalisasi, maka kita akan berbicara tentang identitas itu sendiri” maka identitas mereka terinternalisasi dan ditentukan oleh struktur budaya dan sosial yang dibangun melalui interaksi sosial. Mereka merasa lebih percaya diri dengan mengkonsumsi barang yang notabene buatan impor. Produk dalam negeri atau lokal menduduki predikat yang biasa saja di mata mereka.

Kerakusan kelas menengah-atas terhadap barang-barang bermerek menunjukkan gengsi yang melekat pada produk menjadi pertimbangan penting konsumen. Merek busana meningkatkan status sosial bahkan identitas seseorang. Orang dinilai dari apa yang dipakai, dikonsumsi, atau dibeli. Dengan merek, seolah mereka ingin mengatakan, "Inilah saya".

Pada kategori consumer goods, di semester I-2006, menurut AC Nielsen, angka penjualan 51 kategori produk consumer goods meningkat 10 persen dan untuk keseluruhan 2006 naik setidaknya 15 persen. Ini angka tertinggi kedua di antara 15 negara di Asia Pasifik. Keterpurukan ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama akibat kenaikan tajam harga bahan bakar minyak pada 2005, tidak memengaruhi konsumsi barang-barang ini.

Indikator konsumsi yang lebih digerakkan oleh gaya hidup ”import minded” ini juga tercermin meningkatnya alokasi belanja konsumen untuk makanan, meningkatnya jumlah mobil, meningkatnya belanja produk consumer electronics (barang elektronik), dan bahkan juga belanja makanan anjing dan kucing. Selain itu, konsumsi minuman ringan, rokok, kosmetik, toiletries dan juga belanja untuk rekreasi. Menurut AC Nielsen, 93 persen konsumen Indonesia termasuk recreational shoppers (pembelanja rekreasi). Mereka berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi lebih untuk kesenangan.

Hasil survei AC Nielsen memang belum mencerminkan gaya hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, mengingat responden hanya yang di Indonesia jumlahnya tak sampai 8 persen dan umumnya kondisi ekonominya baik, berpendidikan, dan ada di perkotaan.

Political and Economic Risk Consultancy menggambarkan Indonesia sebagai kebalikan total dari Singapura. Meskipun memiliki angka kemiskinan tinggi, konsumsi masyarakat di Indonesia mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir.

Ketika tingkat pengangguran begitu tinggi dan kondisi keuangan negara yang kritis, impor barang dari luar negeri malah meningkat sehingga begitu banyak devisa negara yang terkuras dan mengalir ke luar negeri. Barang-barang impor begitu merajai pasar retail dan grosir sehingga barang produksi dalam negeri malah tidak punya tempat di negeri sendiri karena kalah bersaing.

Jika dicermati, bisnis-bisnis yang prospeknya bagus beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah juga bisnis yang terkait dengan konsumsi. Selain properti, mal-mal atau pusat perbelanjaan, masuknya investasi asing seperti akuisisi perusahaan rokok HM Sampoerna oleh Philip Morris International juga karena konsumsi terkait gaya hidup. Budaya konsumtif ini mengimplikasikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik. Akibatnya, industri dalam negeri yang hanya memiliki sedikit modal dan minim kemampuan sumber daya manusia maupun alamnya banyak yang gulung tikar dan menambah jumlah pengangguran.

Sebagai sebuah proses dan perkembangan, globalisasi yang ditawarkan saat ini ternyata memiliki keburukan-keburukan yang tidak kalah besar dan pentingnya dengan peranan yang telah dihasilkan dalam proses globalisasi. Kita dapat saja menilai bahwa globalisasi telah mengangkat tingkat kesejahteraan ekonomi di dunia yang pernah dicapai oleh sistem sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa globalisasi telah menyebabkan kemiskinan yang belum pernah dicapai oleh sistem sebelumnya.

Selain itu, saat ini telah terjadi ketimpangan yang sangat signifikan baik dalam level individu, kelompok, maupun negara. Konsep kapitalisme ekonomi, merupakan sebuah sistem yang hanya dapat berjalan di tengah kesengsaraan orang lain. Kompetisi yang merupakan jiwa kebebasan yang diusung oleh kapitalisme tidak disertai penilaian terhadap kadar kemampuan. Mengenai konsep tersebut negara-negara miskin sadar bahwa mereka memiliki kapabilitas dan sumber daya yang terbatas sehingga mereka yakin bahwa produk-produk mereka akan dilumat oleh produk-produk dari negara-negara industri besar jika produk tersebut dibiarkan bebas masuk ke pasar domestik.

Di sisi lain, jika ingin lebih jeli, globalisasi dalam prosesnya juga telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak pernah terbayangkan dan sudah terjadi sebesar ini sebelumnya. Kerusakan hutan, habitat satwa liar dan langka, serta ekosistem yang mendukungnya telah tergerus oleh kepentingan-kepentingan korporasi kapitalis. Ketimpangan global terjadi dalam dua isu ini yakni ekonomi dan lingkungan.

Negara-negara miskin telah dipaksa oleh negara-negara industri besar untuk menandatangani kesepakatan pembukaan pasar bagi produk-produk impor dengan dalih bahwa pembukaan pasar tersebut akan meningkatkan perekonomian negara yang bersangkutan dan tentunya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah pembukaan pasar hanya akan meningktakan kesejahteraan kelompok-kelompok ekonomi asing dan segelintir kelompok domestik di negara tersebut.

Kelompok lainnya hanya akan termangu melihat setumpuk produk-produk asing yang mengisi mall-mall dan departement store tanpa sanggup membelinya karena daya beli mereka yang rendah. Padahal, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili oleh Uni Eropa, masih melakukan sebuah tindakan perlindungan terhadap produk-produk lokalnya terutama pertanian yang mereka nilai masih dinilai kurang stabil terhadap intervensi produk-produk asing.

Kekhawatiran lain akan adanya globalisasi yang menyebabkan gejala konsumtivisme ini lebih karena alasan bahwa konsumtivisme yang berlebihan cenderung menghancurkan nilai-nilai luhur budaya lokal, lunturnya identitas bangsa dan kesetiakawanan sosial, hancurnya industri nasional serta hancurnya lingkungan. Kekhawatiran itu beralasan karena konsumtivisme sudah seperti virus ganas, yang tidak saja menghinggapi kaum kaya di perkotaan, tapi juga mereka yang sehari-hari sebenarnya masih berkutat dengan masalah perut.

2.2. Lunturnya Kecintaan Terhadap Produksi Lokal

Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Berbagai hal yang memang bisa didapat dari sebuah kata dan prose globalisasi yang jalurnya bisa melalui berbagai lajur. Alih-alih memberi manfaat bagi masyarakat di negara berkembang, globalisasi justru mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya.

Salah satu kendalanya adalah lagi-lagi soal merk, dimana merk-merk yang dikenal saat ini adalah merk-merk yang berbau barat dengan segala bentuk strategi pemasarannya. Hal tersebut pulalah yang sekiranya membuat pasar domestik sedikit sepi, yaitu produsen kurang memberikan kebutuhan informasi mengenai produknya sehingga masyarakat pun belum optimal mendapatkan informasi yang memuaskan tentang produk dalam negeri, di samping faktor harga dan mutu, walaupun teknologi informasi sudah semakin canggih.

Sebagai respons dari gelombang globalisasi yang merugikan tadi, dewasa ini muncul gerakan atau kesadaran untuk "menolak" globalisasi dengan mengukuhkan tradisi atau potensi lokal. Di Bantul, Yogyakarta, misalnya, telah diluncurkan kebijakan baru yang diberi nama "Amanat Perjuangan Rakyat Bantul". Salah satu komitmennya adalah penggunaan bahasa Jawa dalam proses pelayanan publik setiap tanggal 20 setiap bulannya.

Masih di kawasan Yogya, ada upaya unik mempromosikan lokalism, yakni masuknya tiwul dalam food-industry modern yang dikelola oleh Indofood. Sementara itu di tataran internasional, "penolakan" terhadap globalisasi juga gencar dilakukan, termasuk tidak mau menggunakan produk-produk IT dari Microsoft, atau juga minuman kemasan yang banyak tersebar di pasaran. Nyatanya, orang-orang yang menolak produk global juga bisa eksis sebagaimana orang lain yang globalized (Kompas, 20/1/04).

Bentuk-bentuk penolakan seperti ini tidak hanya dengan maksud untuk mempertahankan perekonomian melalui pengembangan produk lokal, melainkan juga sebagai salah satu cara dalam rangka mempertahankan kebudayaan lokal yang semakin lama semakin terkikis. Ia telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia mana pun, dan merobohkan dinding-dinding batas antarnegara. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

2.3.Serbuan Produk Impor Berlisesnsi

Produk impor yang masuk ke Indonesia melalui pasar bebas semakin banyak, semakin bebas berkeliaran di toko – toko dan mal – mal di seluruh Indonesia, berbaur dengan produk impor berlisensi yang sebelumnya lebih dahulu berkecimpung di dunia marketing nusantara. Sebagian besar merek yang kita kenal di barang – barang elektronik, produk kecantikan, makanan dan minuman, perabotan rumah tangga, tempat makan, kendaraan, bahkan majalah yang sehari – hari kita baca pun merupakan produk impor berlisesnsi. Produk – produk yang banyak masuk ke Indonesia rata – rata dari Amerika, Taiwan, Jepang, dan yang paling dikenal adalah dari Cina

Masyarakat lebih memilih produk import yang berlisensi karena kualitas produk yang sekiranya telah dikenal di nasional maupun internasional. Hanya dengan melihat mereknya saja, mereka yakin bahwa merek tersebut terjamin kualitasnya. Misalnya alat elektronik buatan Jepang sudah pasti lebih bagus atau bahan makanan dan obat - obatan lebih percaya produksi atau merek – merek dari Cina yang mereka percaya sudah pasti lebih terjamin. Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi hal-hal tersebut, yang dimaksud untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Purnama, 2002). Merek bukanlah sekedar simbol, merek adalah janji penjual yang konsisten, merek akan memberikan ciri manfaat dan kelebihan- kelebihan suatu produk kepada pembeli. Merek sebenarnya mempunyai 6 tingkat pengertian, yaitu :

1. Atribut

Atribut-atribut yang mengingatkan pada merek-merek tertentu. Mercedez menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya.

2. Manfaat

Pembeli membeli produk, berarti membeli manfaat yang baik manfaat fungsional atau manfaat emosional. Misalnya atribut mahal mungkin diterjemahkan menjadi manfaat emosional, mobil ini membuat saya merasa penting dan dihargai.

3. Nilai

Nilai yang dibentuk oleh produsen. Jadi Mercedez berarti kenerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya.

4. Budaya

Merek dapat mewakili budaya tertentu. Mercedez mewakili budaya Jerman yakni terorganisir, efisien, berkualitas tingi.

5. Kepribadian

Merek dapat mencerminkan sebuah kepribadian seseorang yang sesuai dengan dorongan naluri, perasaan dan pengetahuannya.

6. Pemakai

Merek dapat menunjukan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan merek tersebut. Pemakai Mercedez, misalnya, diasosiasikan dengaan seorang manajer puncak.

Produk – produk berlisensi dan franchise yang bebas berkeliaran ini ada akhirnya hanya akan mempengaruhi tingkat konsumerisme dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat di mana MTV telah menjadi gaya hidup, McDonalds telah menjadi halte pemberhentian setiap orang untuk mengisi perut kosong dengan salad, kentang, dan sepotong sandwich, dan shoping malls telah sedemikian menjamur menggilas pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil pinggiran jalan, imagology telah menjadi ideologi gaya hidup yang diam-diam dianut semua orang.

3. KESIMPULAN

Globalisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah proses yang tunggal dan niscaya (inevitable), namun lebih harus dipandang sebagai sebuah proses yang harus dikritisi dalam perkembangannya. Globalisasi memiliki sisi baik dan buruk yang berdampak besar terhadap seluruh kehidupan manusia di dunia karena ruang lingkupnya yang luas. Oleh karena itulah, yang terpenting sekarang bukanlah mengambil secara mentah atau menolak konsep globalisasi yang ditawarkan, namun lebih kepada bagaimana globalisasi ini dapat dikendalikan menjadi sebuah proses yang lebih berkeadilan global.

Munculnya berbagai produk import di Indonesia memang memiliki banyak dampak positif maupun negatif di dalamnya. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah masyarakat Indonesia harus lebih dapat mengendalikan diri dan mentalnya agar tidak terlalu tergiur pada “kelebihan” yang ditawarkan produk import tersebut, namun juga dapat melihat secara seksama kualitas dari produk import yang ditawarkan itu sendiri dengan mengkonsumsi barang atau produk yang disesuaikan dengan pada kebutuhan mereka. Dengan demikian mereka tidak akan menjadi masyarakat yang konsumtif dan berbudaya “import minded”, melainkan menjadi masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk dalam negeri mereka sendiri.

19 komentar:

millatul hanifah (0510420028-42) mengatakan...

Nama : Millatul Hanifah
Nim : 0510420028-42
PS : Hortikultura

Menurut pendapat saya Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Pendapat itu didukung pendapat dari Tanri Abeng, dimanaperwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia.
Pada hakikatnya kita tau bahwa tidak ad d dunia ini yang namany kesempurnaan. Karena kita semua tau kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Begitu jg dengan adanya Globalisasi ekonomi atau yang akrab disebut dengan pasar bebas. Berikut ini adalah beberapa kebaikan dab keburukan adanya globalisasi ekonomi yang bisa penulis lihat :
kebaikan globalisasi ekonomi
Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.
Keburukan globalisasi ekonomi
Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat.
Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.
Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk.

KLB_Sriyono mengatakan...

Nama : Sriyono
NIM : 0610450027
PS : PKP

Era Globalisasi atau di sebut juga zaman pasar bebas. Yang mana bebas produksi, dan bebas promosi. Produktivitas industri semakin tinggi seiring daya beli konsumen yang semakin menggila. Stylepun kian beranjak ke urutan most hunted teratas. Untuk urusan ini, deretan produk luar negeri yang memang “jual” dan ekspansiflah yang menyilaukan gairah beli warga kita. Tak heran jika di mana-mana terlalu sering ditemui warga pribumi bersepatu Nike, berkostum Polo Ralp Laurent, berkendaraan Toyota, berparfum Armani.
Perkembangan persepsi 'paranoid' ini patut diresahkan. Di mana prioritas pemilihan produk justru jatuh kepada label-label produk asing, bahkan tak jarang kita melihat kalangan masyarakat yang lebih memilih produk second asal branded (bermerek terkenal) untuk diburu ketimbang produk-produk lokal baru yang terjangkau. Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite. Lalu, apakah tuntutan era global harus memformula paradigma ironis semacam itu? Bukankah kita adalah warga negara yang sejatinya harus memerankan konsep nasionalisme di setiap lini kehidupan kita? Sadarkah kita kalau sesungguhnya nasionalisme tersebut bisa dipupuk bahkan dari aktivitas primer kita yang rutin?
Memang, realita pangsa pasar produk lokal kita seringkali memaksa kita untuk meneriakkan pertanyaan-pertanyaan tadi. Tapi jauh dari itu, sudikah kita untuk berlapang-dada mencari pertanyaan yang sebenarnya lebih menjanjikan solusi terhadap permasalahan bangsa ini? Sudikah kita untuk mengakui bahwa produk lokal kita memang lebih sering tertinggal kualitas dan kemasannya dibanding produk asing? Sudikah kita mengakui bahwa ada banyak hal teknis yang harus terus dipelajari untuk mensejajari ekspansi produk asing yang telah sedemikian meluas?
Karena bagaimanapun, mengatasi krisis kecintaan terhadap produk lokal sejatinya bukan terbatas pada aksi beramai-ramai membeli produk lokal semata. Tapi lebih kepada kontribusi kritis kita terhadap perkembangan produk-produk lokal kita yang kebanyakan memang kerdil.
Kita bisa mengamati bahwa kecendrungan masyarakat untuk lebih memilih produk asing banyak disebabkan oleh kurang-mampunya produk-produk lokal tersebut dalam persaingan secara kualitas atau kemasan. Di sinilah pembenahan harus diupayakan. Harus ada penanaman persepsi di benak pengusaha kita bahwa sesungguhnya modal produksi bukan semata modal materi, tetapi yang tak kalah penting adalah modal keberanian dan kecakapan untuk memproduksi produk-produk yang bermutu dan eye catching. Karena Presiden SBY sendiri dalam sambutannya ketika pencanangan program nasional "Gemar Produk Indonesia" pada Pameran Produksi Indonesia (PPI) di Arena Pekan Raya Jakarta meminta agar kalangan industri nasional meningkatkan penelitian dan pengembangan kualitas produk. Mengingat faktor itulah yang membuat produk-produk Indonesia kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Di lain sisi, kebanyakan pengusaha kita kurang banyak yang inovatif menentukan jenis produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mereka cenderung ‘latah’ dalam menentukan jenis produksi. Ini tentu nahas jika hasil produksi ternyata kurang dibutuhkan konsumen setempat. Kata Sun Tzu, “to defeat your enemies, you must know your enemies, know your state, know your people”. Permisalan sederhana kasus ini bisa jelas dipelajari dari keberhasilan Teh Sosro untuk berada di hati masyarakat kita mengalahkan produk-produk raksasa dari sindikat Coca-Cola semacam Teh Kita, Fresh Tea, dan lain sebagainya. Hal ini tentu tak lain karena kepiawaian perusahaan Teh Sosro dalam memahami minuman kegemaran masyarakat Indonesia yang memang telah mentradisi.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah permasalahan-permasalahan teknis produksi yang seringkali menghambat proses distribusi dan ekspansi produk. Hal-hal ini kerap kurang mendapat perhatikan serius. Seperti masalah penyiapan Support System lengkap dengan target dan strategi promosi sebagai perangkat presentasi bisnis bagi member, khususnya bagi perusahaan yang memerlukan stockist/stock center produk. Atau dalam konteks pemasaran, harus selalu diupayakan perancangan marketing plan dengan pemasaran jaringan konsep masa kini
Yang terakhir berkenaan dengan prosedur perolehan hak paten, di mana perusahaan-perusahaan lokal kita sering dihambat oleh permasalahan perolehan hak paten dan merek dagang yang masih banyak kekurangan dalam sistem pelayanan pengurusannya sehingga banyak produk karya anak bangsa yang sebenarnya bisa dipatenkan di Indonesia, justeru dipatenkan di negara lain. Ini tentunya juga harus menjadi catatan penting bagi pemerintah kita.
Begitulah, sesungguhnya ada banyak permasalahan yang berderet di balik krisis kecintaan terhadap produk tanah air kita. Betapa semua pihak memang dituntut untuk memerankan posisinya dalam mengatasinya. Mulai dari para pengusaha selaku aktor utama yang harus benar-benar mengupayakan tingkat produktivitas dan pemasaran terbaik mereka, lalu pemerintah yang selain dituntut untuk meringankan prosedur produksi juga dituntut untuk terus gencar mengkampanyekan sekaligus langsung mencontohkan program Nasional “Gemar Produk Indonesia”. Selain itu, pastilah masyarakat kita selaku objek pencanangan “Gemar Produk Indonesia” ini. Karena memang sudah saatnya kita membuka mata pada produk-produk lokal kita. Sudah saatnya untuk meyakini bahwa produk lokal kita memang bisa diandalkan.
Jika sudah begini, tentu optimisme untuk mengikuti jejak negara-negara industri baru seperti Cina, India ataupun Malaysia yang telah beberapa langkah meninggalkan kita dalam hal penggunaan produk lokalnya akan semakin terpatri. Karena bukankah kuantitas penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa adalah pangsa pasar yang sangat prospektif? Karena bukankah gairah kebangsaan akan semakin nyata jika masing-masing dari 200 juta jiwa menunjukkan kepercayaan terhadap produk lokalnya?

Ika Parsiwi T (0610453006 - 45) mengatakan...

Nama : Ika P.Tristiana
Nim : 0610453006
PS : PKP

Globalisasi merupakan sebuah kata yang memberikan arti secara luas baik secara tersirat maupun tersurat. Adanya globalisasi (menyeluruh) membuat jarak semakin tak terasa dan seakan-akan tak ada lagi batas antar negara. Kebebasan pada hampir segala aspek kehidupan mulai dirasakan, khususnya kebebasan dalam berusaha dan berekonomi. Hal ini tentunya akan berdampak baik untuk kerjasama-kerjasama regional maupun multinasional karena adanya globalisasi memudahkan semua urusan dan perhubungan-perhubungan antar negara. Suatu negara diperbolehkan mengembangkan bisnisnya di negara lain tanpa adanya pungutan biaya yang berarti, sehingga usaha-usaha asing mulai menjamur di Indonesia. Masuknya merk dan brainded-brainded asing yang terkenal mahal dan berkelas sedikit banyak berpengaruh pada bisnis domestic. Usaha domestic yang sedang berusaha bangkit pasca krisis moneter harus bersaing dengan susah payah dengan produk- produk luar negeri yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam paradigma masyarakat Indonesia.
Barang- barang asing yang bermerk dan berkelas tinggi tersebut telah mempengaruhi masyarakat secara kognitif/ pemikiran kemudian berlanjut pada afektif/ kejiwaan dan terakhir secara psikomotorik/ perilaku. Paradigma masyarakat bahwa merk-merk mahal seperti Adidas, Prada, George Armani, Fila, Channel, Sophie Martin, Guess dan masih banyak lagi yang lain, akan membawa seorang individu dalam suatu komunitas yang dipandang punya kelas dan bergengsi tinggi atau di sebut juga bukan orang sembarangan, selanjutnya pemikiran tersebut akan memberikan mereka motivasi untuk selalu menggunakan produk dengan brainded tertentu dan pada puncaknya masyarakat Indonesia yang memiliki budaya belanja/ konsumtif/ shopping recreation tersebut dengan senang hati akan membelanjakan uangnya di boutique- boutique dan gerai-gerai impor yang telah semakin meradang akhir-akhir ini.
Hal ini tentunya yang menjadi pemicu pembisnis-pembisnis asing dengan cepat bergerak menyerang pasar- pasar domestic di Indonesia. Dan pada akhirnya pasar domestic mulai terpuruk dan pesimis untuk melanjutkan usahanya, dan bila hal ini sampai terjadi maka secara tidak langsung dan sedikit demi sedikit Negara kita ini akan terjajah kembali dan akan kehilangan identitas diri atau jati diri. Karena adanya identitas diri yang kuat dan kental pada suatu bangsa merupaka indikasi bahwa bangsa tersebut benar- benar merdeka dan berdaulat. Sulit dibayangkan bila bangsa kita ini dikuasai oleh negara lain dalam aspek perekonomiannya karena bisa jadi lambat-laun aspek politik dan budayanya pun juga akan ikut terpengaruh.
Dengan demikian dibutuhkan usaha yang kuat pula untuk menjaga semuanya seperti tetap memakai barang-barang hasil karya orang-orang Indonesia yang berpotensi, menggunakan batik-batik Indonesia yang khas seperti yang saat ini sedang trend di kalangan remaja. Dan dengan aktif berperan serta menyukseskan program-program pemerintah seperti mengadakan pekan-pekan pasar domestic atau tradisional dimana para pedagang Indonesia bebas memperjual-belikan barang-barang khas Indonesia, dan ada baiknya pula bila pemerintah mampu memberikan sedikit subsidi untuk produk-produk domestic tersebut sehngga ada potongan harga agar lebih miring, dengan demikian masyarakat pun akan sangat tertarik untuk membeli barang-barang dari produksi local.
Oleh karena itulah hanya masyarakat Indonesia itu sendiri yang mampu dan punya hak untuk mempertahankan eksistensi bangsa ini di mata internasional.
Biarkan bisnis-bisnis asing berkarya di Indonesia akan tetapi tuan rumahnya tetap kita bangsa Indonesia. Kecintaan terhadap produk local Indonesia yang berbudaya ketimuran tetap lestari dan menjadi brainded local yang tak kalah saingnya.

Vindyka Putri P.L (0610453009 - 45) mengatakan...

Nama : Vindyka Putri P.L
NIM : 0610453009 – 45
PS : PKP


Dewasa ini berbagai akses dalam memperoleh informasi sudah sangat berkembang. Hal ini dapat dilihat dari semakin mudahnya manusia dalam mendapatkan informasi ataupun berita seperti melalui surat kabar, majalah, radio, televisi maupun yang beritanya paling update­ yaitu melalui internet. Hal ini membawa dampak baik dan buruk yang kemudian hal tersebut dikenal dengan nama globalisasi. Dengan globalisasi maka jarak dan batas sudah bukan merupakan masalah karena dunia semakin bebas dan mengglobal (umum) sehingga kita dapat melakukan kegiatan yang ada di belahan dunia yang lain dengan sangat cepat dan mudah. Misalnya yaitu kegiatan sosial, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya. Dalam bidang perdagangan, masyarakat dapat dengan mudah menjual produknya ke pasar dunia melalui internet ataupun ekspor secara langsung dan juga sebaliknya yaitu mereka semakin mudah untuk mendapatkan dan mengkonsumsi produk – produk dari luar negeri, baik produk setempat (merk dagang lokal) maupun produk – produk dengan branded yang telah mendunia. Adanya globalisasi perdagangan ini sedikit banyak membawa dampak negatif bagi pedagang lokal dikarenakan dengan semakin bebasnya perdagangan asing yang keluar masuk Indonesia maka akan menjadikan saingan bagi pedagang lokal. Hal ini didukung pula dengan gaya hidup masyarakat yang semakin lama semakin berkiblat pada kehidupan barat yang dikenal dengan westernisasi dan dengan ini mereka otomatis menggunakan produk asing pula guna menunjang “kehidupan barat” yang mereka anut. Mereka menganggap dengan menggunakan produk asing dengan brand ternama akan menjadikan mereka sebagai orang yang “wah” dan tergolong mewah karena harga barang – barang tersebut cukup mahal bagi masyarakat pada umumnya. Paradigma yang seperti inilah yang semakin membuat produk asing berjaya dan mengakibatkan produk – produk lokal menjadi semakin terpuruk dan tersisihkan keberadaannya. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya pedagang dan pebisnis asing yang masuk dan merambah pasar lokal di Indonesia dan menjadikan semakin menjamurnya gerai maupun boutique yang menawarkan branded asing yang terkenal dan dengan harga yang mahal. Padahal apabila dinilai barang bermerek asal luar negeri dengan barang lokal yang sejenis hampir memiliki mutu yang sama namun hanya karena adanya merk seperti Adidas, Billabong, Prada, Gucci, Giordano, Elle, Guess, Anna Sui dan lain sebagainya maka barang yang semula mempunyai mutu yang sama menjadi “terasa lebih bermutu” dan sudah terbukti mutunya karena merk yang terkenal itu.

Apabila hal ini dibiarkan begitu saja tanpa tindak lanjut, maka lama kelamaan negara kita akan “dijajah” oleh produk asing dan menjadikan kita semakin kehilangan identitas kita sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu mulai sekarang kita harus selektif dalam mengkonsumsi barang – barang asing seperti hanya menggunakan produk asing yang memang tidak dijumpai dan dijual di Indonesia, namun apabila produk tersebut sama dengan produk lokal Indonesia maka sebijak mungkin kita harus memilih produk lokal. Salah satu contoh yang sangat simple bagi kita masyarakat Indonesia dalam membantu menjaga kelestarian produk lokal yaitu dengan cara menggunakan barang / produk lokal seperti baju, sepatu, tas dan peralatan lain yang merupakan produk asli buatan Indonesia. Selain dari masyarakat (konsumen), kegiatan dalam memanjukan produk lokal juga harus didukung oleh pemerintah sebagai pemilik kebijakan sehingga nantinya terdapat kerjasama yang kuat antara pemerintah (menperindag&tim), pedagang atau produsen produk lokal dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen dalam membatasi produk asing yang masuk ke Indonesia dan untuk mempromosikan produk lokal sehingga lebih menarik minat masyarakat (konsumen).

Sebagai mahasiswa pertanian maka saya berpesan “Gunakanlah produk pertanian lokal”. Karena semakin lama Indonesia semakin menggantungkan produk – produk pertanian luar negeri padahal pada kenyataannya Indonesia merupakan negara agraris yang seharusnya dapat memenuhi sendiri kebutuhan dari bidang pertanian. Hal yang dapat menjelaskan kondisi ini adalah adanya impor beras dari Thailand atau negara lainnya, masih tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap buah dan sayur impor dibandingkan dengan buah dan sayuran lokal. Kondisi inilah yang semakin lama semakin membuat petani Indonesia semakin terpuruk dan tetap dalam kondisi kemiskinan. Untuk itu sebagai generasi muda terutama bagi mahasiswa pertanian seharusnya kita ikut memikirkan nasib petani dan produk pertanian lokal yang mereka hasilkan agar tidak kalah bersaing dengan produk – produk pertanian luar negeri. Sehingga siapa tahu nantinya kita dapat mengangkat produk dalam negeri dan di masa yang akan datang produk pertanian Indonesia dapat memasuki pasar Internasional seperti buah – buah impor sekarang ini.

ria hartiana (0610450026-45) mengatakan...

Nama : Ria Hartiana
NIM : 0610450026-45
Jur/PS : SOSEK/PKP


Gobalisasi adalah sebuah kata yang memiliki berbagai perspektif. Secara harfiah globalisasi berarti sebuah perubahan secara menyeluruh. Sebuah perubahan yang membawa manusia dalam suatu kemajuan dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek ekonomi dan bisnis. Dalam era globalisasi ini, akses dalam memasuki dunia pasar bebas ini semakin mudah. Untuk menjalin huabungan ekonomi regional dan internasional telah semakin terbuka lebar, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cakrawala bisnis semakin terfokus, terdapat kebebasan yang luas untuk mencari penghidupan yang layak. Tentu saja globalisasi memiliki banyak keuntungan disamping kelemahannya. Suatu negara diperbolehkan mengembangkan bisnisnya di negara lain tanpa adanya pungutan biaya yang berarti, sehingga usaha-usaha asing mulai menjamur di Indonesia. Masuknya merk dan branded-branded asing yang terkenal mahal dan berkelas sedikit banyak berpengaruh pada bisnis domestic. Usaha domestic yang sedang berusaha bangkit pasca krisis moneter harus bersaing dengan susah payah dengan produk- produk luar negeri yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam paradigma masyarakat Indonesia.
Produktivitas industri semakin tinggi seiring daya beli konsumen yang semakin menggila. Stylepun kian beranjak ke urutan most hunted teratas. Untuk urusan ini, deretan produk luar negeri yang memang “jual” dan ekspansiflah yang menyilaukan gairah beli warga kita.Perkembangan persepsi 'paranoid' ini patut diresahkan. Di mana prioritas pemilihan produk justru jatuh kepada label-label produk asing, bahkan tak jarang kita melihat kalangan masyarakat yang lebih memilih produk second asal branded (bermerek terkenal) untuk diburu ketimbang produk-produk lokal baru yang terjangkau. Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite.
Fenomena tersebut kerap terjadi dalam masyarakat Indonesia yang merupakan kaum kapitalis. Kaum yang terdiri dari beragam tingkat ekonomi, yaitu kaum kelas atas, menengah dan bawah. Gaya hidup dari kaum kelas atas (Elite) sering menyilaukan mata, tidak heran jika perkembangan produk branded dari luar negri sangat subur berkembang di Indonesia, karena orang indonesia memang sangat konsumtif terhadap produk branded.
Fenomena tersebut menyebabkan perkembangan pasar domestik semakin terpuruk. Seiring masuknya pebisnis asing di Indonesia membuat respon masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negri semakin minim. Maka dari itu, perlu ditumbuhkan rasa cinta terhadap produk dalam negri.
Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari beragam budaya yang menghasilkan produk domestik yang sangat khas. Hal itu merupakan salah satu aset yang sangat penting untuk dilestarikan. Sebenarnya, kualitas produk dalam negri tidak kalah dengan produk asing dan semestinya selalu dipertahankan sebagai jati diri bangsa Indonesia. Sehingga dapat membuktikan eksistensi bangsa indonesia dimata Internasional sebagai sebuah bangsa yang memiliki prinsip.

bisma(0610450006) mengatakan...

Nama :Bisma Yogi. P
NIM :0610450006
PS :PKP

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa globalisasi banyak mempunyai dampak bagi segala sektor diseluruh dunia. Salah satu yang pantas disoroti adalah yang ada dalam artikel ini yaitu semakin hilangnya produk lokal. Produk lokal sangatlah penting bagi sebuah negara karena hal ini bisa sebagai identitas bangsa di mata dunia, dengan semakin hilangnya budaya lokal karena globalisasi maka identitas bangsa akan semakin luntur. Produksi lokal di Indonesia sekarang ini sudah sangat kurang peminatnya khususnya bagi anak muda yang lebih suka dengan produk impor walaupun kualitasnya kadang ada dibawah dari produk lokal kita.
Dalam artikel/jurnal pada blog ini dampak dari globalisasi terhadap produk lokal dijelaskan, apabila hal ini dibiarkan maka akan berdampak buruk pada perekonomian di Indonesia. Dampak yang dapat ditimbulkan antara lain : volme produksi dan PDB dalam negri yang terus turun, dan juga menambah kemiskinan dan pengangguran.
Tidak dapat dipungkiri Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak (200 jiwa lebih) merupakan pasar yang menggiurkan bagi produk – produk luar negri yang sangat mudah untuk masuk ke Indonesia dengan dengan kedok globalisasi. Apalagi dengan budaya Indonesia yang sangat konsumtif, ini menjadi pasar yang sangat bagus bagi produksi luar negri. Sesungguhnya pemerintah sudah mengetahui hal ini sejak lama itu dibuktikan dengan himbauan dari pemerintah untuk menggunakan produk dalam negri. Sebenarnya pemerintah bisa mengambil langkah yang lebih tegas yaitu dengan memperketat peraturan masuk barang dari luar negri.
Hal lain yang bisa ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas produksi lokal kita. Dengan meningkatkan kualitas produk kita diharapkan akan lebih banyak peminatnya khususnya masyarakat Indonesia, dan syukur-syukur bisa di sukai masyarakat luar negri.
Tulisan ini menurut saya sangatlah tepat karena melihat kondisi persaingan global di Indonesia saat ini sangatlah tidak menguntungkan bagi produk lokal. Dan juga tulisan ini dapat menumbuhkan kembali kesadaran kita akan gawatnya kondisi produk lokal kita.

“Kalau bukan kita siapa yang pakai produk lokal kita”

khoiriyah mengatakan...

Nama : khoiriyah
NIM : 0610450016-45
PS : PKP

komentar saya tentang globalisasi perekonomian yang tengah melanda negara Indonesia, sejauh ini adanya kemajuan zaman atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi tidak hanya dapat mempengaruhi gaya berpakaian atau budaya consumers, cara berfikir serta pandangan mereka terhadap jalannya suatu kehidupan, akan tetapi fenomena tersebut bagi sebagian masyarakat Indonesia, utamanya bagi mereka yang berada dalam tingkatan ekonomi menengah keatas atau yang lebih dikenal dengan kaum ELITE adanya budaya luar yang masuk ke Indonesia sebagian besar adalah budaya yang hampir keseluruhannya bertentangan dengan kebiasaan yang terjadi di Negara kita Indonesia.
Kemajuan zaman (era globalisasi) yang lebih dikenal oleh masyarakat kota dan sebagian besar orang-orang kaum elite lambat laun dapat mengikis kebudayaan bangsa Indonesia yang awalnya lebih dikenal dengan sebutan bangsa timur yang lebih mengutamakan unsure-unsur adat istiadat yang bermoral tinggi, lebih mengutamakan kesopanan dan kerendahan diri setiap personal serta menghormati segala bentuk perbedaan. Yang terjadi sekarang adalah karena adanya si Mr. GLOBALISASI inilah masyarakat Indonesia pada umumnya dan para remaja pada khususnya, jangankan masyarakat yang berada diperkotaan sejauh ini kemajuan zaman juga telah dinikmati oleh masyarakat yang tinggal diepedesaan terutama bagi mereka kaum pemuda-pemudi penerus bangsa Indonesia, akan sangat disayankan apabila generasi penerus ini rusak dan tidak dapat membela tanah air, layaknya para pemuda Indonesia lpada zaman Soekarno dahulu yang belum mengenal adanya era Globalisasi.
Dampak positif dan negative adanya era Globalisasi terlihat jelas, banyak masyarakat Indonesia khususnya bagi mereka yang tinggal diperkotaan, yang lebih mengutamakan keunggulan materi akan tetapi menomor duakan agama. Kemajuan zaman telah membawa mereka kedalam dunia yang berbeda dari sebelumnya, orang-orang lebih mengenal segala sesuatu yang instan tanpa harus repot dan bersusah payah. Kemudahan dalam mengakses segala bentuk situs internet berdampak seakan jarak bukanlah masalah, kecanggihan alat elektronik yang semakin ekstreem seakan-akan mengalahkan logika dan kemapuan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Hal utama yang seharusnya menjadi titik utama untuk penyelesaian atau jalan keluar dari problematika social yang tengah marak melanda masyarakat Indonesia, penulis diharapkan dapat melengkapi tulisannya dengan adanya solusi lebih lanjut serta jalan keluar yang dapat mengubah kepribadian seseorang dan menjadi salah satu tegoran bagi kita masyarakat bangsa timur, menjadikan masyarakat Indonesia yang modern akan tetapi tetap beriman dan bertaqwa kepada penciptanya.

Mator sakalangkong pak…….

Dian O. (0610453003) mengatakan...

Globalisasi untuk saat ini sangat berpengaruh bagi kehidupan umat manusia baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Terutama di Indonesia yang penduduknya rata-rata mempunyai pikiran atau sugesti bahwa produk luar adalah produk yang terbaik. produk impor mempunyai daya saing yang tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sebenarnya kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi produk luar bukanlah sebuah perbuatan dosa, karena mereka hanya ingin memberikan "The Best Service" bagi diri mereka sendiri. Karena tidak dapat dipungkiri terkadang produk luar lebih bagus kualitasnya dibandingkan produk lokal. tetapi di sisi lain hal ini merugikan bagi Indonesia. keadaan semakin memburuk ketika masyarakat tidak lagi mau melirik produk lokal, hal ini semakin memperburuk perekonomian Indonesia karena tingkat impor meningkat. belum lagi masyarakat yang semakin gila branded. dengan menggunakan branded luar status sosial mereka akan meningkat di mata masyarakat yang lain. masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang lemah akan inovasi, mereka tidak mempunyai cukup bekal untuk menghadapi globalisasi yang keras. apabila tidak ditanggapi dengan cara yang benar maka hal ini akan bisa meracuni pikiran dan merusak kebudayaan lokal kita. bersusah payah kita mempertahankan originalitas kebudayaan kita beratus-ratus tahun, hanya akan dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disadari dapat merusak infrastruktur kebudayaan.
hal ini dapat diatasi dengan lebih gencar menggunakan produk lokal yang tak kalah berkualitas juga dengan produk luar. dengan menggunakan produk lokal kita akan membantu sesama masyrakat Indonesia. hal ini akan dapat meningkatkan ekspor kita, mengurangi pengangguran karena industri-industri lokal mulai menekuni bisnisnya kembali sehingga industri tsb dapat menampung tenaga kerja, selain itu dapat meningkatkan PDB. hal ini tidak akan dinikmati oleh satu orang saja tetapi seluruh masyarakat indonesia akan menikmatinya.
mulailah perubahan dari hal yang kecil. gunakan produk dalam negeri untuk kebiasaan kita, kehidupan kita, saat ini, akan datang, dan untuk selamanya. cintailah produk lokal seperti kita mencintai diri kita sendiri, karena produk lokal merupakan cerminan dari budaya kita yang harus terus dipertahankan hingga anak cucu kita nanti.
Mulialah dari diri sendiri kemudian sebarkan semangat positif ini ke eluruh masyarakat dunia. Dengan kita menghargai produk lokal kita maka masyarakat di luar sana akan menghargai produk kita juga.

SEMANGAT INDONESIA..
KITA BISA..^^

when there is a will, there is a way

Dian O. (0610453003) mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Dian O. (0610453003) mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Muhimmatul ulya (0610450022) mengatakan...

Nama : Muhimmatul Ulya
NIM : 0610450022-45
PS : PKP

Salah satu dampak dari perkembagan zaman adalah era globalisasi, dimana istilah globalisasi sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia maupun Dunia. Globalisasi sendiri merupakan sebuah hubungan dalam meningkatkan keterikatatan dan ketergantungan antar bangsa dan antar individu diseluruh dunia dalam bentuk transformasi, sehingga menjadikan segala sesuatu bukan masalah. Dengan adanya globalisasi juga mengakibatkan teknologi semakin canggih dengan begitu proses komunikasi menjadi lebih mudah dan menjadikan segala sesuatu semakin instant. Salah satu dampak dari globalisasi yang tidak telihat yaitu adanya persaingan produk local dan produk import dalam system perekonomian pasar bebas. Dimana segala produk luar negeri bebas masuk dan secara tidak langsung telah menggeser produk local, padahal produk local tidak kalah saing dengan produk import. Globalisasi juga telah menjadikan masyarakat bersifat konsumtif, yang menjadikan mereka lebih menyukai produk luar negeri dari pada produk local tanpa memikirkan utilitas dari barang tersebut, sifat tersebut rata-rata dimiliki orang menengah keatas kalangan elite. Sifat konsumtif tersebut menjadikan masyarakat tidak peduli terhadp perekonomian dalam keadaan sulit/tidak. Padahal sifat tersebut semakin memperburuk perekonomian suatu bangsa.

Produk local merupakan sebagai cermin atau identitas suatu bangsa, dengan hilangnya produk local dari pasaran, menjadikan lunturnya identitas suatu bangsa, dimana produk local sudah jarang diminati masyarakat Indonesia terutama anak muda yang lebih suka produk import yang berlisensi atau bermerek dari pada produk local, padahal produk import kualitasnnya terkadang masih dibawah produk local. Hal ini dapat dilihhat semakin maraknya produk import di Mal ex Hypermart, bahkan sampai kepasar tradisonal. Dengan demikian produk import mampu mengeser produk local dan menjadikan masyarakat bersifat “import minded”, mereka membeli barang-barang tersebut hanya untuk menaikkan struktur social di masyarakat.

Merek-merek berlisensi tersebut telah mampu merebut dan menjadikan gaya masyarakat sehingga produk local mempunyai arti lagi. Untuk mengantisipasi semakin maraknya produk import pemerintah dapat mengambil langkah tegas dengan memperketat barang-barang import yang masuk dan memperbanyak dan meningkatkat kualitas produk local sehingga dapat diterima pasar terutama pasar luar negeri.

Artikel ini sangat tepat dengan adanya globalisasi dan semakin hilangnya produk local. Dengan begitu dapat membuat masyarakat semakin sadar untuk meningkatkan

“Kalau bukan kita siapa lagi yang akan mencintai prdouk dalam negeri dan memakainya”


“Cintailah produk Lokal dengan begitu dapat membantu dan meningkatkan perekonomian Negara kita”

Krisnawati T. mengatakan...

Nama : Krisnawati Trianingsih
NIM : 0610450018-45
Program Studi : Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Komentar :
Menanggapi tulisan Bapak mengenai tema Globalisasi yang bapak angkat dalam “Lemahnya Produk Lokal di tengah Globalisasi dan Liberalisasi Ekonomi”, saya juga sependapat. Menurut saya, memang benar demikian adanya kondisi masyarakat di tengah-tengah era globalisasi, sementara mereka belum sepenuhnya menyadari akan keadaan tersebut. Sehingga dengan adanya tulisan Bapak, mampu membuka mata para pembaca khususnya warga Indonesia sendiri dan yang kita harapkan tentu saja semoga pesan tersebut bisa sampai pada pembaca.
Kita tahu Indonesia sebagai Negara berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dunia. Dalam usaha meningkatkan ekonomi nasional, perdagangan merupakan bagian yang penting untuk disoroti pemerintah. Sementara saat ini, aktivitas perdagangan tidak lagi mengenal batas antar negara yang mana mencakup batas geografis, ekonomi, maupun budaya masyarakat.
Terjadinya persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dengan produk luar negeri membuat keberadaan produk local semakin tergeser. Persepsi masyarakat mengenai produk luar yang dianggap lebih memiliki kelebihan disbanding dengan produk local yang notabene tidak kalah secara kualitasnya dengan produk import, membuat produk local perlahan-lahan mulai menghilang dari pasaran. Seperti yang kita temui di sekeliling lingkungan kita, saat ini banyak produk import yang beredar di pasar dalam negeri yang mulai menggeser produk local. Semakin menjamurnya mall-mall di kota-kota selama ini kita anggap sebagai proses modernisasi yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Tentu saja hal tersebut juga membawa dampak negative, yaitu hilangnya ruang public yang semula berupa alun-alun yang mana di tempat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat duduk tetapi juga lebih berfungsi sebagai ruang public masrakata yang selama ini telah menjadi budaya. Dampak lain yang lebih serius, antara lain yaitu terbentuknya mental konsumen yang masih berbudaya “import minded” dan konsumtivisme. Yang perlu disayangkan mengenai alasan mereka mengonsumsi barang impor bukan disebabkan oleh kebutuhan tetapi lebih pada peningkatan status social / gengsi. Bahkan generasi saat ini jarang yang mengenal adanya budaya menabung dan hidup hemat.
Dengan dijejalinya produk import bisa membuat masyarakat kehilangan rasa cinta terhadap produk local. Bahkan mereka sudah tidak mengenal lagi produk milik negeri sendiri. Sebagai contoh, saat ini untuk produk agronomi / pertanian khususnya buah-buahan di pasar supermarket telah didominasi dengan produk import. Kita hampir tidak bisa menemui lagi buah-buahan asli Indonesia. Selama ini kelemahan petani local adalah kurangnya di dalam bidang promosi dan penampilan buah yang relative kurang menarik bagi konsumen dibandingkan dengan produk import yang dipandang lebih menawarkan keunggulan. Hal ini terasa sangat miris, karena kita sebagai warga Indonesia tidak kenal lagi dengan hasil produk kekayaan bangsa bahkan kita lebih tahu dengan produk milik Negara lain. Melalui terbentuknya budaya massa import minded dan konsumtivisme menjadi ancaman serius bagi keutuhan budaya local yang bila kita biarkan terus maka bisa punah.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya kesadaran dari tiap individu untuk memaknai globalisasi baik dari segi positif dan negatifnya terhadap seluruh bidang kehidupan manusia. Dengan begitu kita akan lebih mampu mengendalikan diri dalam situasi dunia yang semakin mengglobal dan tidak terhanyut / terbawa arus budaya import minded maupun konsumtivisme serta menuntut kita untuk bersikap lebih jeli dan lebih berhati-hati dalam memilih produk. Seperti pendapat Bapak, di sini diperlukan adanya sikap masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk local untuk menghadapi dampak negative globalisasi yang mampu menggeser keberadaan produk local di pasar dalam negeri sehingga akana mampu memupuk rasa cinta kita terhadap produk local. Sikap mental ini tentu saja harus dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dengan begitu keberadaan kekayaan alam dan budaya local dapat tetap eksis dan lestari serta di sisi lain akan berperan dalam membantu pemerintah dalam memperbaiki kondisi perekonomian nasional dengan mengurangi ketergantungan pada produk import.

PKP_06 mengatakan...

Nama : Totok Bagus Setiawan
NIM : 0610450028
PS : PKP


Globalisasi sekarang sudah merambat kemana-mana dan mengakibatkan produk-produk lokal indonesia terpuruk karena kalah dengan produk asing. Dan ini akan merubah pola tata kehidupan mereka dalam memilih produk ini karena selain alasan mutu juga kemasan yang bagus sehingga para konsumen lokal memilih produk asing dibandingkan dengan produk lokal mereka. Terkadang masyarakat lokal indonesia tidak memandang apa kandungan atau dampak dari produk asing itu, mereka hanya melihat dari kemasan dan harga yang cukup terjangkau. Ini mengakibatkan budaya lokal dan produk lokal mereka sedikit demi sedikit hilang karena banyaknya masyarakat lokal meninggalkan produk-produk mereka dengan kata lain produk masyarakat lokal akan langka dan mungkin akan hilang.
Globalisasi ini juga bisa mengakibatkan kreativitas masyarakat menurun karena masyarakat lokal lebih menyukai hasil-hasil produk asing ini hanya karena produk-produk asing dikenal lebih dikenal di nasional maupun internasional. Ini mengakibatkan budaya yang konsumtif yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat lokal karena mereka tidak mau berkreativitas lagi karena mereka berpikir akan rugi karena masyarakat lebih memilih produk asing dibandingkan dengan produk-produk hasil kreativitas masyarakat lokal.
Sebagian orang mengatakan bahwa era globalisasi akan memajukan perekonomian mereka, tetapi untuk masyarakat indonesia itu berarti semakin terpuruk perekonomian mereka banyak mengekspor produk malah akan mengimpor produk-produk asing. Ini karena merek lebih percaya dengan produk asing dan jika membeli produk asing maka mereka bisa dikatakan modern. Ini menyebabkan jati diri atau budaya lokal akan hilang karena masyarakat lokal berpikiran modern yang hanya memandang budaya asing tersebut.
Maka tidak dapat terpungkiri bahwa dampak globalisasi ini menyebab masyrakat semakin miskin dan bergantung dengan produk-produk impor. Produk-produk asing tidak hanya banyak ditemui di mall dan departement store tetapi juga sekarang sudah merambat ke pasar tradisional. Jadi produk-produk import sekarang sudah banyak ditemukan dimana-mana ini karena banyak konsumen yang meminta sehingga produk-produk lokal semakin terpuruk.
Ini mengakibatkan masyarakat lokal gulung tikar dan rugi, sehingga kebanyakan masyarakat lokal beralih usaha mereka yang dulu menjual produk-produk lokal menjadi produk-produk asing. Dan mungkin nanti anak cucu kita tida bisa melihat sumber daya alam dari masyarakat lokal dan yang mereka tahu hanya produk-produk asing dan semakin lama anak cucu kita akan melupakan sumber daya alam dan kebudayaan yang merupakan jati diri dari mnasyarakat kita.
Semestinya kita berpegang kepada Simon Kimoni, yang menurutnya negara-negara dunia ketiga harus berpegang teguh dan memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Seharusnya masyarakat lokal harus mencari berbagai informasi untuk mempertahankan budaya lokal supaya tidak hilang dan hancur. Tetapi kenyataanya negara berkembang itu malah terpurukarena globalisasi ini.
Untuk merubah itu maka kita mulai dari kita sendiri untuk berpegang teguh dan memperkokoh budaya lokal. Seperti kata-kata Simon kimoni diatas dan merubah semua itu tidak bisa cepat harus setahap demi setahap. Kita bisa mencontoh produk-produk asing untuk mendongkrak popularitas dari produk lokal kita misalnya kemasan, berlisensi dan lain sebagainya. Ini semua harus didukung oleh pemerintah daerah setempat dan pusat untuk memperbaiki perekonomian yang semakin terpuruk ini. Dengan pengetahuan cukup, sarana dan prasaran memadai dan dukungan dari lembaga-lembaga terkait serta peran pemerintah dalam membantu untuk mendukung produk-produk lokal ini sangat dibutuhkan. Jika semuanya ini terlaksana maka perekonomian lokal akan membaik dan budaya lokal tidak akan hilang.


Nama : Desy Arifatul Aini
NIM : 0610453002
PS : PKP

Menurut saya pada dekade 1990-an sering disebut-sebut sebagai awal dari era atau jaman globalisasi. Beberapa pakar mengartikan bahwa era globalisasi adalah era dimana berkat kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi yang semakin pesat dan canggih, orientasi pemikiran--kepentingan--maupun segala daya upaya manusia untuk mewujudkan pemikiran dan mencapai kepentingannya itu cakupannya meliputi kawasan yang semakin “mendunia” atau global.
Fenomena era globalisasi dewasa ini tidak saja mulai dirasakan, melainkan sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan kepentingan antar bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi upaya mengejar kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Di bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sementara itu terjadi pula perubahan atau perkembangan nilai maupun ukuran dalam aspek-aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan keamanan.

Sudah barang tentu dampak era globalisasi ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi negara-negara berkembang, karena kekuatan ekonomi maupun penguasaan teknologi masih terbatas bila dibandingkan atau dihadapkan kepada kemampuan ekonomi dan teknologi negara-negara maju. Dalam kondisi yang demikian, faktor kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi dan manajemen, serta kejelian dan kepandaian memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan faktor-faktor dominan bagi bangsa-bangsa didalam menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing.

Dalam kaitan itu, sub sektor perikanan sebagai bagian integral dari tatanan perekonomian nasional harus mampu memanfaatkan setiap peluang dan mengatasi ancaman yang timbul dari era globalisasi. Hal ini sangat penting mengingat sekarang Sektor Kelautan dan Perikanan telah menjadi salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional.

GLOBALISASI EKONOMI DAN PERDAGANGAN BEBAS

Berbagai perkembangan perekonomian dunia yang terjadi dewasa ini telah mendorong perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi, finansial, investasi dan perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi dunia usaha tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global. Dampak dari padanya timbul perubahan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antar bangsa di dunia.

Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin marak setelah disetujui dan ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh 122 negara anggota di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh Meeting). Pada pertemuan tersebut disetujui pula perubahan nama GATT (General Agreement on Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia/Internasional.

Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah : (1) liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat; (2) memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan baik dalam bentuk hambatan tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier); (3) mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang Intellectual Property Rights dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi peningkatan investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Namun demikian, karena adanya kekhawatiran akan kegagalan perundingan GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang sudah merasa semakin pentingnya perdagangan bebas antar negara, maka negara-negara yang berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan kebutuhan maupun hubungan geografis dan tradisional terdorong untuk membentuk kelompok/kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sehubungan dengan itu pada dekade 1990-an terbentuk beberapa kawasan perdagangan bebas seperti :
· AFTA (Asean Free Trade Area) yang mencakup negara-negara anggota ASEAN;
· NAFTA (North America Free Trade Area) yang mencakup Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko;
· APEC (Asia Pacific Economic Community) yang mencakup negara-negara di kawasan Asia Pasifik, dan
· Uni Eropa (European Union) yang mencakup negara-negara di kawasan Eropa Barat.

Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas tersebut maka untuk beberapa kawasan, liberalisasi perdagangan akan berlangsung lebih cepat dari yang dijadualkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Sementara itu, AFTA akan mulai diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas sesama negara anggota APEC direncanakan akan dimulai tahun 2005.

Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka mau tidak mau harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal itu dimanifestasikan dalam bentuk keikutsertaan Indonesia dalam AFTA, APEC dan WTO.



Nama : Agustiyanti Eka Sari
NIM : 0610450002
PS : PKP

Menurut saya Globalisasi perlu untuk dieksplorosasi lebih lanjut, karena selama ini berbicara tentang globalisasi, baik itu sebagai realita kita sehari – hari ataupun hanya sekedar bayang – bayang yang muncul dalam keseharian kita, entah itu yang menolak ataupun yang setuju, lebih cenderung menempatkan globalisasi sebagai persoalan budaya semata.
Globalisasi adalah tanda zaman, suatu globalisasi desa, hilangnya sekat waktu dan jarak. Globalisasi tak hanya ditandai atau identik melalui arus perpindahan modal (ekonomi), tetapi meluas sampai ke wilayah budaya. Globalisasi budaya terjadi sebagai konsekwesi pekembangan baru masyarakat postmodern.
Melalui terbentuknya budaya massa atau budaya pop, dunia seakan diciutkan dalam keseragaman dan manusia disatukan di bawah bendera kesadaran yang sama. Budaya global memang senantiasa terus mengalami pergeseran dan pengulangan. Budaya daur ulang yang terus-menerus direproduksi dan diterima tanpa banyak tanya, untuk apa semua ini. Yang kita tahu, kedatangan budaya global bisa jadi suatu keadaan yang jauh lebih baik, atau sebaliknya suatu posisi penyingkiran yang berarti eksploitatif dan imperialis. Bagaimanapun kedua posisi berlawanan ini adalah suatu kenyataan yang hidup berdampingan dan kita hidup didalamnya.
Globalisasi atau menurut istilah James Petras dan Henry Vetlmeyer lebih cocok disebut ‘imperialisme’, pada tingkat analisis budaya postmodern sering dianalogikan dengan Amerikanisasi. Hubungan erat antara budaya dengan Amerika jelas tergambar dalam peran dan otoritas Amerika sebagai produsen ‘budaya Massa’ terbesar di dunia. Dari televisi kabel, jaringan media global, internet, entertaiment, masakan fast food sampai film Hollywood menyerbu ke seantero pelosok dunia. Jika budaya massa kita anggap sebagai ancaman yang serius, maka jelas Amerika adalah ancaman bagi keutuhan budaya lokal.
Perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas – batas teritorial kedaulatan suatu bangsa. Akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi, sehingga dengan begitu dapat mendorong dinamika sosial lainnya. Oleh karena itu ada baiknya jika kita melihat pada bingkai yang mungkin kurang disukai yakni dilihat dari sudut ekonomi politik.
Dengan demikian akan menjadi tepat kiranya jika kemudian kita membicarakan kapitalisme sebagai cikal bakal lahirnya globalisasi sebagai objek yang pokok. Kapitalisme itu sendiri berdiri bukan saja sebagai konsepsi idealitas manusia, melainkan sebagai realitas yang kongkret yang hadir, dihadapi dan dialami oleh manusia modern, yang kemudian muncul dengan apa yang kita kenal sebagai teori trias ekonomica yang kemudian manusia masuk dalam kategori manusia ekonomi. Dalam hubungan yang paling penting ini cara bertransaksi atau jual beli (ekonomi) bukan salah satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu – satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia baik itu dalam hal hubungan keluarga, tata Negara ataupun dalam hubungan internasional.
Melihat fenomena determinasi ekonomi liberal satu yang teramat penting diperhatikan adalah bahwa hampir tak ada benteng pertahanan pertahanan lagi bagi keaslian tata – budaya lama. Transformasi teknologi informasi yang didukung oleh geliat komodifikasi dalam setiap bidang telah mengantarkan pasar menjadi dunia baru yang menegaskan dunia tradisional yang selama ini kita alami. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh semisal model restoran siap saji Amerika masuk dalam golongan junk – food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan ekslusif.
Dengan pengikisan budaya lokal oleh desakan global ini kemudian kebudayaan yang sering diasumsi sebagai tata nilai tradisional sering dianggap ancaman serius. Mungkin dengan prespektif lain, persoalan pergantian sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita perhatikan, sebab bagi sebuah kebudayaan asli Indonesia misalnya bukanlah suatu hal yang finan dan kita sakralkan. Tetapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian integral arus (kepentingan) ekonomi politik pemodal, maka persoalan seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosial kemanusiaan, melainkan justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara – cara mengkomodikasi segala hal.

anita damayanti mengatakan...

Nama : Anita damayanti
PKP
0610450004-45
Menurut pendapat saya, globalisasi merupakan sebuah era pembaharuan di segala bidang. Era globalisasi ini ekstrimnya sangat mempengaruhi berbagai aspek. mulai dari perekonomian sampai perubahan dari individu-individu masing-masing orang. sebuah globalisasi berbeda pandang menurut setisp orang. Dalam pengertuan dari lobalisasi ini yang berarti universal, menyeluruh merubah semua aspek kehidupan. Di lihat dari aspek ekonomi dengan adanya era globalisasi ini perdangan dunia bebas masuk, serta produk-produk import dinilai lebih bernilai ekonomis dari pada produk local. Sehingga ada sebagian orang dengan kita membeli produk import, maka akan menaikkan gengsi individu tersebut. Maka produk local akan terkalahkan. Tetapi adahal globalisasi ini bernilai positif, yaitu kita dapat mengetahui dunia luar. Sehingga kita tidak ketinggalan zaman. Era globalisasi ini merubah pemikiran individu untuk hidup lebih maju dan berdaya saing. Dengan adanya persepsi seperti itu maka banyak orang yang menginkan dirinya agar hidup lebih maju lagi. Dengan adnya pemikiran resebut banyak orang yang mencuptakan sebuah penemuan-penemuan yang berguna bagi bangsanya terutama orang Indonesia sendiri. Dengan adanya daya saing yang tinggi maka di lakukan sebuah tameng agar tidak di dominasi dengan globalisasi ini. Untuk melindungi produk-produk local kita yaitu Indonesia, maka di mulai dengan kita sendiri yang memulai untuk melindungi produk kita dengan cara mempromosikan kembali produk kita, budaya kita dan melestarikan kebudayaan local kita.
Selain itu dengan adanya era globalisasi sangat mempengaruhi pemikiran seorang individu.terutama bagi para remaja-remaja Indonesia. Mereka semakin berpikiran “bebas”. Bebas dalam arti mereka seenaknya sendiri beebuat semaunya. Contohnya saja adanya “freesex” bagi anak muda sekarang hal itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Padahal sangat merusak citra sebagai seorang pemuda penerus bangsa. Apabila pemudanya seperti itu, bagaimana dengan nasib bangsa Indonesia. Segelintir orang yang peduli akan hal itu, yaitu “free sex” dan narkoba.
Dalam era globalisasi ini kita harus bias mencapai taraf yang lebih baik, dimana kita selau kalah dalam hal teknologi yang dewasa ini semakin canggih. Masuknya teknologi baru sangat sulit untuk di hentikan. Kemajuan teknologi seperti air yang mengalir, tidak ada henti-hentinya. Dalam hal teknologi kita masih tertinggal dengan Negara lain. Untuk itu kita sebagai generasi muda haruslah berusaha untuk membuat sebuah terobosan baru. Tetapi untuk mewujudkan hal ini haruslah di tunjang dengan pendidikan yang tinggi. Dilihat dari penidikan yang ada di Indonesia masih di bilang masih kurang. Banyak sekali anak-anak yang putus sekolah karena kekurangan biaya. untuk memajukan Indonesia, maka harus memajukan pendidikan yang ada di Indonesia selain itu Hukum yang ada di Indonesia juga harus lebih di perbaiki. Dua komponen tersebut bagi saya merupaka komponen yang penting untuk citra Indonesia. Kenapa Hukum dan pendidikan yang harus ditata kembali oleh Indonesia? Yang pertama pendidikan merupakan modal kita untuk bersaing di kancah internasional. Pendidikan merupak hal yang sensitive, anak-anak Indonesia sekarang perlu di gembleng dengan system pendidikan yang keras karena pendidikan bias merubah pola piker anak Indonesia, maka dengan di terapkannya pendidikan yang baik pada waktu dini maka akan membentuk sebuah pribadi yang bermanfaat bagi anak Indonesia dan nantinya akan berimbas dengan perilaku globalisasi ini. dan nantinya anak Indonesia yang berwawasan tinggi akan menyumbangkan pola piker yang dapat memajukan Indonesia ke kancah Internasional.
Selain itu hukum yang ada di Indonesia juga harus di perbaiki. Hokum merupakan komponen yang essential dari suatu negara. Apabila hukum di Indonesia tegas maka kehidupan di Indonesia akan aman. Aman dari korupsi, masuknya barang yang illegal dan kita tidak akan kehilangan sesuatu “Ikon” kebudayaan kita. Hal ini denghan lemahnya hokum kita sampai berakibat kebudayaan kita di rampas oleh Negara lain, yaitu contohnya kesenia reog ponorogo yang di klaim Negara Malaysia sebagai asli kebudayaan mereka.
Dengan merubah dua unsur diatas, yaitu Hukum dan pendidikan maka kita bisa tahan terhadap era globalisasi yang menyerang kita. Selain itu kita harus tanggap dengan adanya berbagai perubahan yang ada , entah itu teknologi maupun bidang ekonomi yang terus-terusan menyerang Indonesia. Kita memrlukan tameng yang kuat, tameng tersebut adalah para remaja Indonesia sebagai penerus bangsa Indonesia.

Tyas Wening P.L mengatakan...

Nama : Tyas Wening PL
Jurusan/PS : SOSEK Pertanian / PKP
NIM : 0610450029 - 45

Di era yang serba canggih, masyarakat pada umumnya akan mengalami perubahan pola pikir. Hal ini didukung dengan kecanggihan tekhnologi yang mampu memfasilitasi kehidupan manusia sehari hari. Kebutuhan akan tehnologi sudah menjadi bagian dari kebutuhan primer manusia dan tidak dapat dipungkiri bahwa arus perubahan tekhnologi di bawa oleh negara negara maju, sebut saja Amerika serikat negara negara di Eropa dan Jepang. Bahkan sat ini perdagangan china juga mulai merajai perdagang di dunia.
Dengan demikian, masyarakat indonesia pun tidak akan mampu menghindar untuk menggunakan barang barang yang di banding oleh negara negara maju tersebut. Pilihan yang sulit kemudian dihadapkan kepada masyarakat indonesia yang masih berada pada level negara berkembang, dengan didorong kebutuhan hidup akan kecanggihan tekhnologi maka pilihan pun jatuh pada penggunaan alat alat atau sebut saja produk buatan negara lain dan bukan negara Indonesia. Beberapa produk buatan indonesia juga mulai mendekati kearah tekhnologi. Sehingga mungkin bisa menggantikan produk berteknologi buatan luar negeri. Kn tetapi image sudah terbentuk, dimana merk luar negeri lebih memberikan jaminan mutu yang baik. Padahal pada kenyataannya tidak semua terjadi demikian. Tapi entah siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus dibenarkan. Keadaan seperti disebutkan diataslah yang membudaya di masyarakat Indonesia dan untuk itu pemilih dan penyedia produklah yang harus menyelamatkan keadaan seperti disebutkan diatas. Dan jelas sangat membutuhkan proses yang memakan waktu yang relatif tidak singkat yang juga harus disertai dengan publikasi dan perbaikan produk buatan dalam negeri.
Sebagai contoh hilangnya identitas lokal di Indonesia adalah persepsi masayarakat terhadap konsumsi buah – buahan. Kebanyakan orang menilai bahwa buah – buahan yang berasal dari impor adalah lebih baik kualitasnya dari pada buah lokal. Padahal pada kenyataannya, buah impor belum tentu memiliki kualitas yang baik jika ditinjau dari segi kesehatan. Misalnya saja buah – buahan impor pembudidayaannya menggunakan bahan – bahan kimia yang tidak aman bagi kesehatan manusia. Sedangkan pada dasarnya buah lokal adalah buah yang aman bagi kesehatan manusia, maksudnya adalah petani lokal jarang mengaplikasikan bahan – bahan kimia dalam budidaya komoditas pertaniannya. Sehingga buah – buahan lokal relatif lebih aman untuk dikonsumsi manusia karena tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya. Dengan demikian agar identitas dari produk lokal tidak tergesar posisinya oleh produk impor, maka diperlukan upaya dari generasi saat ini dan yang akan datang untuk melestarikan pruduk lokal melalui konsumsi produk dalam negeri.

CINTAI PRODUK DALAM NEGERI

febrinna mengatakan...

NAMA : FEBRINNA RESTIKA PUTRI
NIM : 0610450013
PS : PKP

Globalisasi memang merupakan sebuah bahasan yang kompleks karena di satu sisi menimbulkan suatu nilai positif tetapi di sisi lain dengan adanya globalisasi ini muncul banyak segi negatif. Saya stuju sekali dengan apa yang diungkapkan pada blog ini, dan cara untuk mengatasi atau meminimalisir dampak globalisasi terutama yang menjalar pada jiwa konsumtif masyarakat Indonesia menurut saya patut untuk segera kita pecahkan bersama. Karena dengan timbulnya jiwa konsumtif terhadap barang impor akan mematikan atau meniadakan identitas sebuah bangsa. Masyarakat lebih menghargai dan menjunjung tinggi produk dari luar dan cenderung mendeskriminasikan produk negeri sendiri. Padahal para pengkonsumsi produk luar tersebut kebanyakan hanya mengejar gengsi dengan mengkonsumsi produk luar, banyak diantara mereka menutup mata mengenai mutu ataupun kualitas produk negeri sendiri yang sebenarnya juga tidak kalah dengan produk dari luar, entah itu pakaian, kosmetik ataupun yang lainnya.
Contohnya saja mengenai konsumsi wanita Indonesia terhadap kosmetik luar negri, mungkin diantara kita banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya kosmetik ataupun perawatan kecantikan yang ditawarkan dari luar negeri tidak cocok diterapkan untuk wanita Indonesia justru bahan – bahan alami khas Indonesialah sebenarnya merupakan perawatan kecantikan yang cocok, tapi pada kenyataannya para wanita cenderung ikut ikutan dan tergiur dengan iklan di media serta mereka mengutamakan gengsi sehingga banyak dari mereka ataupun anda menggunakan kosmetik dari luar negeri.
Oleh sebab itu kita, sebagai orang yang perduli tentang globalisasi dan dampak – dampaknya mulai sekarang harus menanamkan pada diri kita masing –masing agar kita mengahgai produk dalam negeri sebagai salah satu upaya untuk mencegah dampak globalisasi menghilangkan identitas bangsa kita.
Menanggapi gemarnya masyarakat menggunakan produk impor yang berlisensi, sebaiknya kita dan juga masyarakat tidak hanya sekedar melihat merk ataupun lamanya produk tersebut beredar di negeri kita, sudah cukup peristiwa kemarin, tentang beberapa jenis makanan luar yang sudah beredar lama di Indonesia dan baru baru ini ditarik dari peredaran pasar karena ditemukan mengandung melamin, bukan hanya makanan ringan tetapi susu bayi pun tercampur bahan berbahaya tersebut. Dari peristiwa tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bukan berarti barang luar negeri yang bermerk dan beredar lama di Indonesia aman untuk dikonsumsi dan patut untuk dipercaya. Kita sebagai masyarakat yang berpendidikan dan yang menjunjung tinggi nilai kesehatan patutlah untuk berhati hati pada semua jenis makanan ataupun segala jenis produk yang akan kita konsumsi.
Jadi sekarang alangkah baiknya jika kita sebagai masyarakat yang modern dan perduli tentang globalisasi dengan segala dampak yang menyertainya, kita harus lebih berfikir bagaimana dengan adanya globalisasi ini kita dapat mengimpor barang- barang kita agar budaya serta identitas bangsa kita diketahui dan diakui oleh bangsa lain bukan bagaimana kita bisa mengkonsumsi produk dari negara lain, kita harus berfikir bagaimana agar pakaian batik menjadi pakaian trendseter yang bisa diterapkan di Paris, ataupun bagaimana cara agar buah khas Indonesia menjadi makanan yang tak asing bagi bangsa lain banyak hal yang harus kita pikirkan agar kita tidak hanya sekedar menjadi bangsa yang mengkonsumsi produk negara asing, tetapi menjadi produsen bagi negara-negara asing.

made pkpO6 mengatakan...

Nama : Made Nick B
Jurusan / : PS : SOSEK Pertanian / PKP
NIM : 0610453007
Tugas : Komunikasi lintas budaya (comentar)


Komentar saya mngenai blog yang bapak sajikan ialah. Saya sangat setuju sekali apabila bapak mengatakan bahwa di era globalisa sekarang ini produk local sudah semakin tidak diminati lagi, menurut saya hal itu disebabkan karena kemajuan IPTEK alias ilmu dan tekknologi yang mengakibatkan tidak adanya batasan ruang dan waktu, kita sebagai bangsa atau orang Indonesia akan sangat mudah sekali apabila kita mempunyai keinginan untuk melihat seperti apa sich gaya dari orang yang berada di Negara-negara barat atau Negara-negara yang selalu di agung-agunkan karena berhasil menginspirasi banyak orang, dengan cukup menyetel televise kita akan sudah mendapat banyak referensi bagaimana gaya mereka, pola hidup mereka, sampai gaya bicara mereka juga, apalagi sekarang dunia internet dan multimedia sudah berkembang sangat cangih, cukup dengan menuliskan sepatah kata kunci saja kita sudah bisa langsung bisa mendapatkan informasi yang kita inginkan. Aspek-aspek dan unsur
seperti itulah yang akhirnya mempengaruhi kita dan meningkatkan rasa untuk ikut mencoba seperti itu juga, image yang dibangun dari kemegahan kemajuan jaman atau yang biasa kita sebut sebagai globalisasi itu juga akan mendorong kita untuk senantiasa terpacu mengikuti gaya-gaya atau pola hidup dari orang-orang yang menurut anggapan kita adalah orang yang hidupnya “penuh dengan kesenangan”, karena kemajuan jaman juga orang-orang akan lebih banyak mendapat refernsi gaya hidup dari bangsa-bangsa lain diluar negaranya. Di atas nama “globalisasi” banyak orang yang meningkat rasa gengsinya, sebenarnya hal itu juga sangat mutlak dipengaruhi oleh image yang sudah terlanjur melekat di masyarakat jaman sekarang.... kalau kita memekai barang-barang yang bermerek kita akan terlihat lebih keren, cantik, atau tampan, image dan pemikiran seperti itu lah yang sudah meracuni orang-orang yang hidup di era globalisasi seperti ini, tapi sebenarnya mereka juga tidak
bisa sepenuhnya dipersalahkan, karena mereka juga hanya sebagai korban dari kemajuan IPTEK dan perkembangan pasar. Kita tidak boleh mengungkiri, bahwa orang-orang yang berwajah tampan, cantik, berbadan bagus dan menarik lah yang memang punya nilai jual lebih tinggi, oleh karena itu mereka-mereka itulah yang nantinya akan dibungkus dengan segala macam barang-barang atau produk-produk bermerek, sebenarnya mereka itu hanya menjadi tameng dari beberapa pihak periklanan yang akan mempromosikan produk mereka, tetapi dengan semakin banyaknya kebutuhan yang harus diselesaikan.... maka banyak orang-orang yang tidak berfikir sejauh itu mengenai hal tersebut, yang ada dipikiran mereka pada saat mereka melihat Leonardo Dicaprio yang sedang berpose disuatu majalah dengan menggunakan kaos POLO, dan sepatu ADIDAS hanyalah “mereka juga pasti akan terlihat sekeren Leonardo dicaprio apanila mereka juga memakai kaos polo dan sepatu adidas itu. Suatu hal yang lucu
memang, tapi itu lah yang terjadi dengan hampir kebanyakan orang-orang yang hidup dijaman atau era globalisasi sekarang ini. Makin gencarnya produk bermerek yang sudah punya nama dan tempat special di hati orang-orang melakukan promosi, semakin tertinggal juga produk-produk local yang sebenarnya kalau mau lebih dikembangkan juga tidak kalah dengan produk bermerek internasional. Sebenarnya apa sich yang menyebabkan sehingga orang-orang kurang begitu berminat dengan produk local, ya walaupun mereka juga akan berminat kalau uang mereka hanya cukup untuk membeli produk local tersebut. Sebenarnya yang terjadi itu adalah karena pihak pemproduksi barang buatan local itu sendiri yang kurang memperhatikan kualitas barang huatannya, kita ambil contoh saja sepatu. Ada beberapa image dan pemikiran yang terbentuk dimasyarakat kita tentang produk local, yang pertama mereka selau beranggapan bahwa produk local itu tidak akan sekuat produk impor, produk local kurang
bergengsi, dan apabila menggunakan produk local tidak akan sekeren apabila menggunakan produk impor. Sebenarnya msyarakat juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, apabila masyarakat berpikiran bahwa produk local tidak akan lebih kuat dari produk impor, itu kan juga karena ulah dari produsen barang produk local itu sendiri yang sengaja menurunkan kualitasnya untuk bisa mendapatkan keuntungan yang besar, tidak perlu ragu untuk membicarakan hal ini, karena memang seperti itu kan yang terjadi, lalu jika masyarakat berfikir apabila menggunakan produk local terlihat tidak bergengsi... selain karena pengaruh merek asing yang membanjiri pikiran mereka tapi hal itu juga karena kurang adanya inisiatif dari produsen local yang semestinya melakukan promosi dengan cara yang menarik agar konsumen lebih tertarik dengan produk yang ditawarkan, jadi sebenarnya keterpurukan produk local itu juga bukan sepenuhnya salah dari “globalisasi”, Globalisasi hanya menjadi ruang
dari kondisi tersebut, sebenarnya apabila mau, produk local juga pasti akan bisa menjadi favorit dikalangan masyarakat, tapi tentunya hal itu juga harus diimbangi oleh kesadaran produsen untuk segera memperbaiki kualitas produknya baik dari model, warna, kekuatan, dan karakteristik-karakteristik lain yang masih bisa dikatagorikan sebagai kualitas, menjualnya dengan harga yang wajar, dan melakukan promosi dengan cara yang layak dan digemari oleh orang-orang juga. Kabar baiknya sekarang produk local sudah semakin dilirik oleh masyarakat, contohnya saja batik, hal itu juga disebabkan karena pihak-pihak yang terkait dengan 3 hal yang telah saya sebutkan diatas tadi sudah mulai melakukan hal itu.

LEBIH ASIK PAKE PRODUK DALAM NEGERI SENDIRI LHO.....

pa2_nick mengatakan...

Nama : Nicko Dwi Nurali
NIM : 0610450023
P>S : PKP

Berbicara mengenai globalisasi dan liberalisasi ekonomi faktor media massa memegang peranan yang vital dalam kemajuannya. Media massa ini banyak dipakai perusahaan maupun stakeholder untuk menyebarkan pengaruh kepada khalayak dan propaganda – propaganda. Banyak argumentasi menyatakan bahwa jiwa dari ekonomi yang berlandaskan teknologi adalah inovasi yang berkelanjutan. Tidak ada satu pun perusahaan yang bisa membanggakan dirinya dengan apa yang dibuatnya tahun lalu, kemudian berdiam diri sampai para konsumen menuntut produk yang lebih baik. Perusahaan tersebut harus berusaha memimpin pasar dengan cara meciptakan perubahan. Tetapi dalam waktu yang sama perusahaan lain juga memproduksi produk yang baru dengan mengedepankan kreativitas dan inovasi merupakan tema utama agar dapat mempertahankan kelangsungan perusahaan. Perusahaan satu dengan yang lain saling berlomba – lomba membuat produk terbaru setiap tahun bahkan sudah memikirkan produk terbaru saat produk baru diluncurkan di pasaran. Akibatnya terjadinya “perang” terbuka menggaet kosumen.
Berbagai langkah dilakukan perusahaan agar konsumen memakai produk mereka. Salah satu cara memperkenalkan produk – produk tersebut dengan menggukan media massa. Karena dengan media massa ini produk dapat disebar luaskan keberbagai pelosok, dengan tampilan yang kreatif yang mengedepankan atas emosi khalayak lama – lama penggunaan media massa ini efektif untuk mencari pasar. Kekuatan media massa berkaitan dengan opini public. Yaitu kekuatan yang berhubungan langsung dengan kesadaran public yang dapat mempengaruhi kejiwaan dan perilaku. Inilah yang kemudian menjadi sesuatu kenapa media massa menjadi perebutan berbagai kalangan. Potensi yang mampu mencapai publik yang massif, dan hubungan langsung dengan aspek kesadaran manusia. Gencarnya arus informasi mengakibatkan media massa sebagai alat untuk mempengaruhi khalayak baik dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan dll. Khalayak seperti dihipnotis dengan gencarnya informasi entah untuk mempropaganda dan sebagainya yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir,nilai, norma, dan emosi khalayak.
Dewasa ini isu tentang dampak media berkaitan dengan komersialisasi. Isi media penuh dengan bingar – bingar produk komersial yang menitik beratkan pada komoditas. Stakeholder yang memiliki modal kuat dapat leluasa mengintervensi media demi kepentingan pribadi tanpa memperdulikan kepentingan khalayak. Gencarnya pengaruh media sangat cocok memakai pendangan repowerfull effect media dalam arus globalisasi saat ini. Beberapa teori tersebut adalah spiral of silence, agenda setting, cultivation analyses.
Spiral of silence menyatakan dampak kuat media berkaitan dengan opini public. Khlayak yang teus menerus dicekoki dengan komoditas asing, dampaknya ketika produk local disejajarkan dengan komoditas luar maka dibenak khalayak sudah terpola untuk memilih produk luar karena gengsi dan menjaga image.
agenda setting, berkaitan dengan besarnya pengaruh media dalam menentukan apa yang akan dipikirkan public. . Produk lokal yang jarang untuk dipublikasikan akan lama – lama tersingkir dari perbicangan khlayak yang lama kelamaan khlayak akan menjauhi.
Cultivation analyses yaitu mampu membangun mainstreaming khalayak. Khalayak yang terus menerus melihat tayangan komersial produk – produk luar akan tertanam harus memakai produk tersebut, sedangkan produk-produk local karena jarang dipublikasikan akan ditinggalkan. Jadi pengaruh media ini akan berdampak jangka panjang.

Jadi globalisasi dan liberalisasi ekonomi sangat di pengaruhi oleh peran media massa. Seberapa besar media menayangkan sesuatu akan berbanding lurus dengan perubahan sikap khlayak. Pengaruh propaganda sangat merugikan khalayak karena khlayak akan dengan mudah tergiring dalam arus globalisasi yang menuntut perubahan berbagai lini kehidupan baik bidang ekonomi, politik, sosial dll.

LINDA PKP/0610450019 mengatakan...

Nama : LINDA SUMARLIANA
Nim : 0610450019
PS : PKP 06
Pada era globalisasi perdagangan tidak lagi mengenal batas suatu negara, sehingga akan terjadi persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Globalisasi sebagai tantangan zaman menuntut adanya pasar bebas yang sebebas – bebasnya. Yang mana bebas produksi, dan bebas promosi. Produktivitas industri semakin tinggi seiring daya beli konsumen yang semakin tinggi. Dalam hal ini, produk luar negerilah yang memang menyilaukan gairah beli warga kita. Dan baru – baru ini ramai juga dibicarakan tentang rencana kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang penanaman modal asing. Pasar bebas memungkinkan perusahaan – perusahaan level Internasional untuk memasarkan produknya ke berbagai negara. Produk impor yang dipasarkan dapat beredar secara bebas ke seluruh pelosok negeri. Keberadaan produk impor ini telah menggeser hasil produksi dalam negeri. Padahal industri lokal pada dasarnya mampu membuat barang yang kualitasnya tidak kalah dengan perusahaan asing. Namun ternyata realitanya, prioritas pemilihan produk justru jatuh kepada label-label produk asing. Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite.
Dalam masalah ini, untuk mengatasi krisis kecintaan terhadap produk lokal sejatinya bukan terbatas pada aksi beramai-ramai membeli produk lokal semata. Tapi lebih kepada kontribusi kritis kita terhadap perkembangan produk-produk lokal kita yang kebanyakan memang kerdil. Kita bisa mengamati bahwa kecendrungan masyarakat untuk lebih memilih produk asing banyak disebabkan oleh kurang-mampunya produk-produk lokal tersebut dalam persaingan secara kualitas atau kemasan. Di sinilah pembenahan harus diupayakan. Harus ada penanaman persepsi di benak pengusaha kita bahwa sesungguhnya modal produksi bukan semata modal materi, tetapi yang tak kalah penting adalah modal keberanian dan kecakapan untuk memproduksi produk-produk yang bermutu dan sesuai dengan selera konsumen.
Di lain sisi, kebanyakan pengusaha kita kurang banyak yang inovatif menentukan jenis produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mereka cenderung latah dalam menentukan jenis produksi. Mereka kurang memperhatikan produk apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat, ini yang menyebabkan jika hasil produksi ternyata kurang dibutuhkan konsumen setempat.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah permasalahan-permasalahan teknis produksi yang seringkali menghambat proses distribusi dan ekspansi produk. Hal-hal ini seing kurang mendapat perhatikan serius. Seperti masalah penyiapan sistem / komponen pendukung yang lengkap dengan target dan strategi promosi sebagai perangkat presentasi bisnis bagi member, khususnya bagi perusahaan yang memerlukan stock center produk. Atau dalam konteks pemasaran, harus selalu diupayakan perancangan rencana pemasaran dengan pemasaran jaringan konsep masa kini.
Yang terakhir berkenaan dengan prosedur perolehan hak paten, di mana perusahaan-perusahaan lokal kita sering dihambat oleh permasalahan perolehan hak paten dan merek dagang yang masih banyak kekurangan dalam sistem pelayanan pengurusannya sehingga banyak produk karya anak bangsa yang seharusnya dipatenkan di Indonesia, justru dipatenkan di negara lain. Ini tentunya juga harus menjadi catatan penting bagi pemerintah kita. Pemerintah harus bertindak cepat dalam mengatasi masalah ini karena kalau dibiarkan berlarut – larut, maka akan semakin banyak lagi produk dalam negeri yang akan dipatenkan oleh negara lain.
Untuk mengatasi semua masalah tersebut, semua pihak memang dituntut untuk memerankan posisinya dalam mengatasinya. Mulai dari para pengusaha selaku aktor utama yang harus benar-benar mengupayakan tingkat produktivitas dan pemasaran terbaik mereka, lalu pemerintah yang selain dituntut untuk meringankan prosedur produksi juga dituntut untuk terus gencar mengkampanyekan sekaligus langsung mencontohkan program Nasional “Gemar Produk Indonesia”. Selain itu, pastilah masyarakat kita selaku objek pencanangan “Gemar Produk Indonesia” ini. Karena memang sudah saatnya kita membuka mata pada produk-produk lokal kita. Sudah saatnya untuk meyakini bahwa produk lokal kita memang bisa diandalkan.
Produk lokal kita sesungguhnya mempunyai mutu dan kualitas yang tidak kalah bagus dengan produk – produk negara lain. Oleh karena itu, kita harus optimis dan lebih semangat lagi untuk mengikuti jejak negara-negara industri baru seperti Cina yang telah beberapa langkah meninggalkan kita dalam hal penggunaan produk lokalnya dan jiwa kebangsaan kita dalam hal cinta produk dalam negeri akan semakin tertanam dalam semangat masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak akan menjadi masyarakat yang konsumtif dan berbudaya “import minded”, melainkan menjadi masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk dalam negeri mereka sendiri.