Jumat, 04 Juli 2008

BERBISNIS DENGAN HATI

BERBISNIS DENGAN HATI NURANI

SEBUAH KENISCAYAAN MENJADI PEBISNIS SEJATI*

Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si.**

Berbisnis dengan hati nurani adalah suatu aktifitas bisnis yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur transendental dengan menghidupkan potensi utama kemanusiaan yaitu bisnis tidak hanya dilandasi oleh kepentingan materi semata yang bersifat sesaat (Beyond Rational), melainkan nilai-nilai yang dapat mengantarkannya pada tingkat kesadaran tertinggi sehingga mampu mendorong motivasi bisnis sebagai upaya membangun sejarah terbaik bagi diri dan kehidupan. Berbisnis dengan hati nurani adalah berbisnis di atas nilai-nilai spiritual yang dicirikan antara lain oleh nilai motivasi spiritual, komitmen spiritual, kepedulian spiritual, taqwa, ikhlas, amal prestatif, syukur prestatif dan silaturrahim dengan sesama. Hal inilah yang diyakini mampu menjadi kunci keberhasilan dalam perkembangan bisnis modern.

Namun, dalam kurun waktu yang cukup panjang manusia memahami bahwa indikator dan syarat utama sebuah keberhasilan dipahami sangatlah ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam merespon hal-hal yang bersifat akademis seperti menghitung, berlogika, berbicara, berfikir secara sistematis yang merupakan fungsi dari kerja otak kiri yang terletak pada neocortex, yang disebutnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sehingga untuk mengukur seberapa tinggi kecerdasan seseorang maka dilakukanlah uji dan penilaian IQ. Mereka yang memiliki skore IQ di atas 130 diklasifikasikan sebagai orang yang memiliki tingkat intelegensi sangat cerdas, skore 120-129 diklasifikasikan cerdas, 110-119 klasifikasi di atas rata-rata, 90-109 diklasifikasikan rata-rata, 80-89 klasifikasi di bawah rata-rata, 70-79 diklasifikasikan perbatasan sedang mereka yang hanya mencapai skore di bawah 69 dikatakan sebagai orang yang memiliki keterbelakangan mental (ideot).

Dalam perkembangan selanjutnya diyakini bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) ternyata maksimal hanyalah sekitar 20 persen saja dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh factor lain yang disebut dengan kecerdasan emosional, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional intelligence. Kecerdasan emosi dipahami merupakan fungsi dari kerja kerja otak kanan yang bernama lymbicsystem. Kecerdasan emosi mencoba untuk mematahkan paradigma kecerdasan yang hanya mengandalkan pada intelektual belaka. Bagi paradigma baru ini keberhasilan seseorang sangatlah ditentukan oleh kemampuannya untuk menghidupkan emosi. Menurut Daniel Goleman kecerdasan emosi meliputi dua kecakapan yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi terdiri atas tiga factor, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri dan motivasi. Sedang kecakapan sosial terdiri atas dua factor yaitu, empati dan keterampilan sosial.

Beberapa kompetensi dan kandungan dari kecerdasan emosi antara lain meliputi : kesadaran diri (self awarenens), meliputi : kesadaran emosi (Emotional self awarenes), penilaian diri secara teliti (accurate self assessment), percaya diri (self confidence) ; Pengaturan diri (self regulation), meliputi : Pengendalian diri (self control), Sifat dapat dipercaya (trustworthines), Kewaspadaan (conscieniousness), Adaptabilitas (adaptability), Inovasi (innovativeness) ; Motivasi diri (self motivation), meliputi : dorongan berprestasi (achievement drive), komitmen (commitment), inisiatif (initiative), optimisme (optimism) ; Kesadaran sosial (social awareness), meliputi : empati (emphaty), orientasi pelayanan (service orientation), mengembangkan orang lain (developing others), kemampuan mengatasi keragaman (laveraging diversity), kesadaran politis (political awareness) ; Keterampilan sosial (social skill), meliputi : pengaruh (influence), komunikasi (communication), kepemimpinan (leadership), katalisator perubahan (change catalyst), manajemen konflik (conflic management), membangun relasi (building bonds), kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), kemampuan tim (team capabilities).

Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata kecerdasan emosi diyakini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dan kesuksesan seseorang, karena betapa sesungguhnya para koruptor tidakkah mereka memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi (paling tidak bergelar sarjana) dan kecerdasan emosional yang baik, misalnya pandai berkomunikasi dan memimpin orang lain ? namun kenapa tetap korupsi? Jawabannya karena mereka tidak memiliki kepekaan spiritual, moralitas, akhlaqul karimah. Sehingga muncullah kajian terbaru yaitu kecerdasan spiritual (SQ) yang ternyata juga masih dianggapnya sebagai salah satu fungsi disyaraf otak yang bernama God Spot atau terletak pada temporal lobe (salah satu titik syaraf dalam otak yang mudah merespon akivitas yang sifatnya spiritual dan menjadikan dirinya tenang).

Kecerdasan yang terakhir ini (SQ) dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas yang sifatnya spiritual. Namun sayangnya pusat kajian kecerdasan spiritual ini masih sebatas ada kajian yang sifatnya materi rasionalistik yaitu otak. Sedang pusat kesadaran tertinggi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersumber pada qolbunya (hati). Sehingga kecerdasan spiritual yang dipahami oleh kalangan barat akan sangat cenderung rasionalistik dan artifisial serta tidak menyentuh langsung pada pusat kesadaran. Namun bagaimanapun juga, paradigma kecerdasan ini telah memberikan sebuah perubahan cara pandang manusia dalam menilai kehidupan dan segala aktivitasnya. Setelah sekian lama manusia terjebak dalam penjara rasionalisme materialisme akibat system kehidupan kapitalistik yang menghegemoni dan menjadikan jiwa manusia gersang dan penuh kesepian di tengah hingar-bingarnya materi. Sehingga berbagai aktivitas dilakukan oleh banyak kalangan untuk memenuhi panggilan jiwanya yang dahaga akan spiritualitas (sebagai fitroh kemanusiaan yang haqiqi yang disebut dengan naluri ketuhanan, gharizah tadayyun) sebagai wujud pencarian identitas diri. Kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia pada penemuan hakekat diri yang sejati lebih dari itu kecerdasan ini telah terbukti sebagai alat yang dapat mengantarkan pada sukses dalam kehidupan.. Inilah sebuah era dimana spiritual menjadi pusat paradigma manusia (walaupun mungkin masih belum dapat dikatakan sebagai era kemenangan spiritualisme atas materialisme).

Beberapa data dapat ditunjukkan disini, misalnya pada tanggal 11 – 12 April 2002 di Harvard Business School diadakan seminar Leadership yang berjudul “Does Spirituality Drive Success In Business?”, Berbagai kalangan kaum praktisi bisnis dari silikon valey, lembaga-lembaga bisnis terkemuka di dunia selama 2 hari diskusi dengan sangat antusias membicarakan sejauh mana spiritualitas mampu membawa keberhasilan. Dalam seminar tersebut mereka sepakat bahwa konsep spiritualitas dapat menghasilkan: Integritas, Energi, Inspirasi, Wisdom, dan keberanian. Contoh- tokoh-tokoh pebisnis besar yang sukses dalam memimpin sekaligus sebagai spiritual leader yang bisa membawa sukses dalam kegiatan sehari-harinya. Misalnya antara lain :

1. Mr. Soichiro Honda (Pendiri Honda).

Ia memimpin 43 perusahaan di 28 negara, Ia tinggal di rumah sangat sederhana, tidak memiliki harta pribadi, hobinya melukis di atas kain sutera, tidak memberikan warisan harta kepada anak-anaknya kecuali ilmu bagaimana hidup mandiri di dunia bisnis.

Lalu apa yang sebenarnya dicari oleh Soichiro kalau bukan kebahagiaan dan ketenangan ?

2. Kyoto Ceramics

Adalah sebuah perusahaan di jepang yang memproduksi semacam Silikon, keramik untuk komputer. Omsetnya US$ 400 juta, laba bersih setelah dipotong pajak 12 %. Hal yang unik cara hidup sederhana dan memandang rendah kemewahan.

3. Bill “Microsoft” Gates

Pemiliki korporasi komputer terbesar dunia, microsoft. Dan bahkan termasuk orang terkaya di dunia, mengatakan bahwa 40 % penghasilan bersihnya dibagikan untuk kemanusiaan.

4. Konosuke Matsushita

Pemilik dan pendiri perusahaan elektronika besar dunia, sebuah perusahaan yang memproduksi semacam Toshiba dsb. Karyawannya luar biasa dan diseluruh dunia perusahaannya ini telah berkembang dengan pesat dan ia hanya lulusan kelas 6 SD. Misinya sederhana yaitu “Life is Not Only For Bread” (Hidup Bukan Hanya Untuk Sekerat Roti).

  1. Bahkan di negeri kita sendiri, Indonesia, banyak contoh kalangan pebisnis dan pengusaha yang dia tidak hanya sukses dalam materi dan membangun “kerajaan bisnis” namun juga sukses dalam membangun jiwa spiritualitasnya. Sebagai contoh H. Bisri Ilyas seorang pendiri dan pemilik real estate besar di kota Gresik, Gresik Kota Baru (GKB). Memulai usahanya dengan berjualan kopra dan minyak dengan bermodalkan kejujuran, dan akhirnya mengembangkan bisnisnya pada real estate, pertokoan, dan pom bensin sedang setiap hasil usahanya dia selalu menyisihkannya untuk pembangunan tempat ibadah dan pengembangan dunia pendidikan serta suka membantu bagi mereka yang membutuhkan, bahkan pada tahun 2006 beliau menginfaqkan 20 serifikat tanahnya senilai 2 miliar bagi aktifitas dakwah organisasi Muhammadiyah. Hal menarik yang menjadi prinsip bisnisnya adalah semua aktivitas bisnis yang dilakukan dibangun diatas spirit agama dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang diajarkan dalam Al Quran.

Begitu pula dengan seorang temannya Drs. Usman Affandi SE, seorang mantan pengusaha sukses dan sekarang mengabdikan dirinya sebagai dosen di Universitas Brawijaya Malang, memiliki jiwa yang luhur, suka memberi dan penuh pengertian, memiliki banyak anak binaan yang diantarkannya sebagai orang-orang sukses di perusahaan besar dan beberapa tempat kerja.

  1. Dalam pengalaman penulis, beberapa perusahaan besar di Indonesia membekali para karyawannya dengan berbagai pelatihan motivasi spiritual (spiritual motivation) misalkan dengan MQ (manajemen Qolbu), ESQ (Emotional Spiritual Quotient) atau CST (Corporate Spiritual Training) untuk membangun kesadaran diri dan meningkatkan motivasi kerja dalam bingkai spiritual. Sebagai contoh beberapa perusahaan yang pernah mengirimkan karyawannya untuk di latih kecerdasan ini dan penulis sebagai instruktur utamanya dalam CST (Corporate Spiritual Training), antara lain : PT. PLN, memberikan bekal kepada lebih kurang 600 karwayannya untuk mengikuti pelatihan ini secara bertahap. Begitu pula, PT. Semen Gresik, PT SwaBina Gatra, BNI, BTN dan beberapa perusahaan lainnya yang mengirimkan beberapa ratus karyawannya untuk mengikuti pelatihan ini dengan harapan dapat merubah cara pandang mereka terhadap kerja dan muncul motivasi kerja tertinggi atas dasar ibadah (spiritual worker).

7. John Naisbitt dan Patricia Aburdene, penulis buku Megatrend 2000 , mereka menulis sesuatu yang mengejutkan bahwa 67.000 pegawai Pacific Bell mengikuti pelatihan Spiritual ala New Age. Perusahaan-perusahaan lainnya adalah: P&G (Proter & Gamble), Ford Motor Company, AT&T, General Motor, dan IBM. Bahkan sebagaimana diberitakan oleh Asia Inc. pada Januari tahun 1999. Mark Moody, Pemimpin Senior salah satu perusahaan minyak terbesar dunia SHELL, ia memanggil seorang spiritualis (pendeta Budha) dan memberi training/terapi spiritual kepada 550 orang ekskutif perusahaan tersebut. (Sumber: The Corporate Mystic, Prof. Gay Hendricks & Kate Ludeman)

7. Prof. DR. Gay Hendricks & Kate Ludeman penulis buku The Corporate Mystics. Ia hampir 25 tahun menyelidiki dan masuk ke berbagai perusahaan –perusahaan untuk mengadakan wawancara. Tidak lebih dari 800 orang ekskutif yang diwawancarai dan diamati selama 25 tahun tersebut. Kesimpulannya mengejutkan: “Saya tidak pernah menyangka sebelumnya, saya menemukan para mistikus-mistikus itu semacam sufi-sufi justru bukan berada di tempat-tempat peribadatan, tapi saya menemukan mereka di meja-meja rapat”. Kemudian ia juga membuat ramalan yang mengejutkan bahwa abad 21 ini anda tidak akan menemukan para sufi di tempat-tempat peribadatan tapi anda menemukan mereka di korporasi-korporasi raksasa. Mysticus Corporate adalah semacam sufi yaitu orang-orang yang memiliki ilmu spiritualitas, nilai-nilai luhur, dan mereka menurut Prof. Gay Hendricks mereka bukan hanya bicara namun mempraktekkan nilai spiritualitas tersebut dalam perusahaan-perusahaan.

Berdasarkan data-data diatas membuktikan bahwa mereka bukanlah pencari-pencari harta, meskipun perusahaan mereka tumbuh menjadi perusahaan raksasa, mereka tetap menjadi seorang sufi, mereka ternyata bukanlah seperti yang kita bayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rakus tapi justru mereka mengamalkan ilmu spiritualitas, inikah bukti bahwa abad 21 ini adalah abad lahirnya era spiritualitas.

Sifat-sifat para Sufi Corporate menurut DR. Gay Hendricks & Kate Ludeman, antara lain meliputi :

1. Jujur

2. Adil

3. Tahu tentang diri sendiri

4. Fokus pada kontribusi

5. Non Dogmatis

6. Mampu membangkitkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dan orang lain

7. Terbuka pada perubahan

8. Visioner

9. Memiliki disiplin diri ketat dan keseimbangan.

Sementara Islam sebagai agama yang agung semenjak awal pada belasan abad yang lalu (14 abad) telah membangun konsep kecerdasan spiritual ini dengan istilah akhlaq. Yaitu sikap yang terformulasikan atas dasar keimanan. Hal ini pulalah yang menjadi alasan diutusnya Rasulullah saw sebagaimana dalam sabdanya :

“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”.

Akhlaq, itulah yang dipraktekkan secara nyata oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam aktivitas keseharian baik dalam hubungan ketuhanan, hubungan dengan dirinya sendiri dan hubungan antar manusia termasuk cara sikap yang terbaik dalam bekerja. Sehingga kita mengenal sifat-sifat mulia yang miliki oleh Rasulullah dan ditiru oleh para sahabatnya seperti siddiq, amanah, tabligh, fatonah dan sikap-sikap baik lainnya. Sifat-sifat itulah yang sekarang menguat kembali dalam perbincangan dunia modern khususnya dalam refleksi dunia kerja.

Menguatnya paradigma spiritualitas ini juga dirasakan dibanyak perusahaan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar mencoba berupaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya dengan membekalinya melalui berbagai pelatihan yang bernuansakan spiritualitas, khususnya dalam rangka memotivasi semangat kerja para karyawannya dengan nilai-nilai spiritual. Berdasarkan pengalaman saya selama ini sebagai intruktur pelatihan, banyak kalangan perusahaan memberikan apresiasi yang sangat baik terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia perusahaan melalui pelatihan-pelatihan yang berbasis spiritual ini, yang saya beri nama dengan CST (Corporate Spiritual Training) ataupun SWOT (Spiritual Worker Training). Mereka menyadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pribadi dan perusahaan bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengusasi bidang pengetahuan (Knowledge) maupun penguasaan keterampilan teknis (Skill) tertentu, namun juga sangat ditentukan oleh formulasi sikap (Attitude) yang ditampilkannya dalam merespon berbagai tugas pekerjaan dan pola hubungannya dengan orang lain serta kesadarannya yang tingi akan nilai kerja itu sendiri. Disinilah fungsi spiritual memberikan sentuhan penting bagi penanaman nilai-nilai kerja tersebut.

Pemahaman spiritualitas meneguhkan akan tanggungjawab kerja yang diembannya dan mengarahkan penyadaran akan cara-cara kerja terbaik atas dasar nilai-nilai akhlaq dan spiritualitas yang tinggi sehingga bekerja menjadi bernilai ibadah. Motivasi ibadah selalu dibangun atas seluruh rangkaian pola hubungan (kerja, sosial, keluarga, diri pribadi dan ketuhanan) yang dilakukan secara integral, terpadu dan tidak parsial. Kesadaran akan setiap pola hubungan tersebut diyakini mampu mendorong munculnya motivasi dan produktifitas kerja yang tinggi atas dasar ibadah atau spiritual. Sehingga dapat melakukan bisnis secara jujur dan ikhlas, penuh semangat (spirit) yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritual (agama), melayani & beramal (dengan mengeluarkan kewajiban zakat, infaq dan shadaqah), memiliki kepedulian yang tinggi pada sesama, sungguh-sungguh (karena merasa dinilai oleh Allah Sang Maha Melihat), suci bersih (sikap jauh dari penyimpangan, penyelewengan dan kebohongan), prestatif (terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik dan bermanfaat & bernilai bagi orang lain), teladan (mau menjadi contoh terbaik dalam kebaikan bagi yang lain). Berbagai sikap ini menjadi hal yang sangat perlu dimunculkan dan dikembangkan dalam keseharian kerja oleh para pebisnis hati nurani (spiritual business).

Dasar dari semua sikap positif di atas adalah hidupnya hati, hati yang telah dipenuhi dengan cahaya ketuhanan. Sehingga menjadikannya mau tunduk pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang termanifestasikan dalam perilaku keseharian baik di rumah, di lingkungan dan di tempat bisnis dengan sikap-sikap positif, sikap yang penuh tanggung jawab dan sikap yang penuh gelora untuk menampilkan yang terbaik dalam kehidupan, serta diri yang tak pernah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk beribadah karena sadar bahwa inilah saatnya untuk mengukir sejarah kehidupan dengan tinta emas perilaku dan akhlaq yang agung. Hati yang bersih dan sikap yang terbaik, itulah yang dapat membuka pintu Rahmat Allah dan curahan segala kasih sayangNya.

Rahmat Allah dalam berbisnis inilah yang akan mengantarkan hasil rizqi yang halal barokah yang nantinya akan menjadi nafkah bagi anak istri yang dengannya akan menjadi darah yang mengaliri seluruh tubuh anggota keluarga sehingga tumbuh jiwa-jiwa yang sehat, pikiran-pikiran yang cerdas dan perilaku-perilaku yang diwarnai dengan akhlaq yang agung. Sehingga jadilah anak-anak yang soleh dan solehah serta keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Inilah saatnya untuk menghidupkan hati dan kembali pada nilai-nilai yang telah diajarkan agama dalam berbisnis dan mengarungi kehidupan dengan sebuah keyakinan bahwa sekecil apapun yang kita lakukan apabila bersandar pada aturan nilai agama, maka Allah pasti akan menegakkannya dan mewujudkan segala yang dicita-citakan.

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal soleh (kebajikan), bahwa Dia SUNGGUH akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia SUNGGUH akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah KU dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Tetapi barang sapa (tetap) kafir setelah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Dan laksanakanlah sala, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. An Nur : 55-56)