Jumat, 24 Oktober 2008

LEMAHNYA PRODUK LOKAL DI TENGAH GLOBALISASI DAN LIBERALISASI EKONOMI

Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si

1. LATAR BELAKANG

Proses industrialisasi telah diusung oleh banyak negara baik maju maupun berkembang untuk memajukan bidang perekonomian mereka. Keadaan ini dipicu oleh adanya momentum revolusi industri yang kemudian menular ke berbagai cakupan wilayah lainnya. Tentu saja hal tersebut sesuai dengan tuntutan zaman dimana masyarakat sudah memiliki daya intelektualitas yang tinggi sehingga menyebabkan berbagai aspek kehidupan di dunia juga harus mengimbanginya.

Globalisasi merupakan sebuah tema besar dalam setiap pembahasan yang melibatkan semua pihak baik di tingkat internasional maupun di tingkat yang lebih nasional dan lokal. Selain itu, globalisasi juga merupakan bahasan yang sering diperdebatkan dimana konsep globalisasi bukan merupakan sebuah keadaan yang stagnan dan mutlak adanya. Prosesnya terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga pandangan semua pihak terhadap konsep globalisasi yang ditawarkan dapat berbeda satu sama lain.

Banyak pihak yang mengagungkan konsep globalisasi sebagai sebuah proses yang dapat semakin meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang tidak pernah dicapai sebelumnya bagi semua kalangan baik negara maupun non-negara. Tidak sedikit pula yang menyakinkan bahwa konsep globalisasi yang diterapkan saat ini merupakan sebuah proses yang justru telah mengakibatkan sebuah keadaan yang lebih buruk ketimbang masa-masa sebelumnya terutama dalam hal kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan.

Globalisasi juga merupakan sebuah kondisi dimana terjadi pemadatan ruang dan waktu, sehingga jarak dan waktu sudah bukan masalah lagi untuk sebuah hubungan. Kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi, transportasi dan informasi telah membawa perubahan begitu radikal dalam setiap segi kehidupan manusia. Salah satu dampaknya adalah timbulnya sebuah kesadaran bahwa manusia tidak tinggal sendirian dan bukanlah sebuah hal yang bijak untuk bertindak menurut ketentuan sendiri.

Akibatnya banyak bermunculan kelompok kerjasama baik bilateral, multilateral, regional maupun internasional seperti munculnya International Governmental Organizations (IGO’s) seperti United Nations, OIC (Organization of Islamic Countries), maupun Non-Aligned Movement. Selain itu, kelompok civil society dalam hal ini tidak mau ketinggalan, mereka banyak mendirikan NGO (Non-Governmental Organizations) yang bergeral di banyak bidang mulai dari sosial, politik, lingkungan, gender, ekonomi, budaya dan masih banyak lagi.

Adanya akses perdagangan bebas melalui kelompok kerjasama tersebut, serta peningkatan volume perdagangan merupakan dampak globalisasi, terutama kaitannya dengan sistem ekonomi liberal. Keadaan ini memungkinkan adanya proses kompetisi antara para produsen guna memasarkan produknya ke seluruh dunia.

Kompetisi para produsen tersebut tidak hanya di kalangan pedagang dunia melainkan juga antar pedagang domestik yang saling bersaing di antaranya ataupun dengan pedagang internasional. Para pedagang domestik tersebut berusaha menarik konsumen yang sepertinya sudah mulai suka bahkan fanatik dengan ”kelebihan” yang disuguhkan oleh produk-produk yang mendunia.

Keberadaan pedagang atau pengusaha lokal agaknya membawa iklim perekonomian yang agak menyejukkan disamping untuk menambah devisa yang semakin berkurang akibat pemborosan pembayaran importir, mereka mampu menyelipkan nilai-nilai kebudayaan yang setidaknya mampu menumbuhkan rasa kecintaan akan produk bahkan bangsa itu sendiri.

2. GLOBALISASI DAN PASAR BEBAS

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Proses globalisasi yang baru terjadi selama 10 tahun terakhir ini telah mengubah dunia secara total dan radikal. Walaupun begitu, benar globalisasi telah terjadi pada masa lampau, tetapi globalisasi yang sekarang tidak bisa dibandingkan dengan yang masa lampau. Tiga faktor yang membedakan: velocity, intensity, dan extensity.

Oleh karena tiga faktor ini maka globalisasi menimbulkan dampak yang jauh lebih dahsyat daripada masa sebelumnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa globalisasi telah melabrak segala sesuatu sampai lumat sehingga tidak menyisakan kebudayaan lokal dan negara-bangsa sama sekali. Hal ini berupa proses transformasi, bukan pengurangan atau penghilangan.

Globalisasi ditandai dengan masuknya hal-hal tertentu yang tentu saja membonceng sebuah kepentingan entah itu dalam hal nilai-nilai, ideologi, kekuasaan ataupun ekonomi. Salah satu yang tidak tampak boncengan kepentingannya dalam era globalisasi adalah dalam bentuk produk, dimana produk-produk tersebut bisa masuk dengan leluasa antar negara karena adanya sistem perekonomian yang bebas.

Pada era globalisasi perdagangan tidak lagi mengenal batas suatu negara, sehingga akan terjadi persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Globalisasi sebagai tantangan zaman menuntut adanya pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Kebebasan tersebut seakan menghapus jarak teritorial antar negara. Teknologi informasi memberikan sumbangsih cukup besar terhadap arus global yang tak hanya berpengaruh terhadap dunia perekonomian saja, tetapi akan berpengaruh pada kepentingan politik dalam negeri. Misalnya tentang pengambilan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut diantaranya: Perpres no. 36 tahun 2004 tentang kepemilikan hak tanah, UU nomor 32 tentang ketenaga kerjaan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dan baru-baru ini ramai juga dibicarakan tentang rencana kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang penanaman modal asing.

Pasar bebas memungkinkan perusahaan-perusahaan level internasional untuk memasarkan produknya ke berbagai negara. Termasuk pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Produk impor yang dipasarkan dapat beredar secara bebas ke seluruh pelosok negeri. Keberadaan produk impor telah menggeser hasil produksi dalam negeri. Padahal industri lokal pada dasarnya mampu membuat barang yang kualitasnya tidak kalah dengan perusahaan asing. Namun ternyata realita mengatakan masyarakat ternyata lebih mementingkan gengsi. Implementasi gengsi tersebut mungkin dilakukan dengan mengkonsumsi produk impor.

Globalisasi dan pasar bebas memang tak dapat dicegah. Namun akibatnya, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia. Gencarnya produk-produk impor yang menyerbu Indonesia membuat cukup membuat khawatir banyak pihak. Padahal, Indonesia harus mampu menciptakan infrastruktur yang memadai guna mengantisipasi serbuan produk-produk impor demi menjaga ketahanan ekonomi nasional.

2.1. Produk Impor dan Konsumtivisme

Gejala globalisasi yang pada saat ini sungguh tidak terelakkan. Televisi dan koran membawa berita-berita dari segala sudut dunia ke meja; bukan hanya berita perang, tapi juga berita olahraga, fashion, musik, dan sebagainya. Orang kini bisa marah, sedih, dan gembira terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ia lihat dengan mata kepala sendiri.

Sementara itu, produk-produk yang tidak bisa dibuat di tanah air, memenuhi rak-rak toko dan etalase. Mereka didatangkan dari segala penjuru dunia, dari minuman, sepatu, makanan, baju, celana, hingga mobil mewah. Produk-produk tersebut, menurut James W. Carey, tercipta atas dasar kebudayaan berdasarkan proses komunikasi sosial yang terwujud melalui produk sosial kehidupan, seperti mitos, mode, makanan, bahasa dan sebagainya. Fenomena yang terjadi saat ini adalah sebagian dari masyarakat Indonesia cenderung semakin menyukai produk-produk sosial tersebut, produk impor. Alasan masyarakat memilih produk impor selain karena alasan mutu, juga karena alasan desain dan harga jual yang sangat kompetitif.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded” yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Masuknya produk-produk impor tidak hanya dapat ditemui di mall-mall saja, bahkan trade center sampai pasar-pasar tradisional pun, produk impor misalnya dari Tiongkok, banyak memenuhi rak-rak para pedagang. Lebih hebat lagi, para pedagangnya pun ada yang langsung berasal dari Tiongkok. Hanya bisa satu-dua kata bahasa Indonesia, para pedagang dari Tiongkok itu lebih mengandalkan kalkulator untuk memberi tahu harga barang dagangannya.

Di pusat perbelanjaan, produk asal Amerika dan Eropa, juga memenuhi hampir seluruh area perdagangan yang ada. Mulai dari produk kosmetika, busana dan aksesorinya, tas, sepatu, bahkan sampai produk-produk perawatan kesehatan, seperti Gucci, Louis Vuitton, Armani, Prada, Dunhill, Zegna, Ferragamo, Tiffany & Co, Tuleh, Mulberry, Issey Miyake, Kate Spade, Escada, Cartier, Fendi, Chanel, Diesel, Chloe, Hermes, Coach, Polo, Ralph Lauren, dan masih banyak lagi nama asing. Begitu pula dengan berbagai makanan dan minuman seperti Starbucks, McDonald’s, BreadTalk dan sebagainya.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded”.

Mental konsumen seperti inilah yang mengakibatkan munculnya budaya baru dimana tingkat konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu semakin tinggi, konsumtif. Fenomena seperti ini tidaklah mengherankan, terutama dengan menjamurnya gerai-gerai fashion karya desainer internasional dan juga berbagai jaringan ritel asing yang tumbuh subur berbarengan dengan bermunculannya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia.

Fenomena remaja yang sudah melek merek hanya salah satu contoh gaya hidup konsumtif yang menghinggapi masyarakat kita, seperti juga merayakan ulang tahun di hotel berbintang, menikmati segelas cokelat panas di kafe, atau sekadar nongkrong di mall.

Hidup hemat dan menabung tidak lagi dipahami oleh kebanyakan anak muda zaman sekarang. Pemimpin atau tokoh panutan menurunkan budaya konsumtif kepada rakyat atau audiensnya, seperti orangtua menularkan kepada anak-anaknya dengan menghujani mereka dengan barang-barang atau fasilitas mewah lain untuk menebus rasa bersalah karena tak cukup meluangkan waktu untuk anak.

Iklan yang persuasif dan berbagai strategi pemasaran agresif membuat masyarakat semakin dalam terjebak arus konsumtivisme atau kecanduan belanja yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional. Konsumtivisme sudah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia yang separuh lebih penduduknya masih miskin (diukur dari standar kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari).

Fenomena seperti ini, sebenarnya bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, termasuk negara yang (sudah) bukan komunis. Konsumtivisme adalah dampak dari globalisasi dan sistem kapitalisme modern yang mendasarkan pada tata nilai materialistis, mulai dari tingkah laku, pola pikir, hingga sikap.

Masyarakat menengah perkotaan di Indonesia, seperti juga di negara Asia lain, bahkan lebih agresif menjiplak gaya hidup konsumtif ketimbang masyarakat di negara asal budaya konsumerisme itu sendiri, Amerika. Contohnya fanatisme pada produk-produk bermerek seperti merk celana jeans Levi’s, baju Polo, tas Gucci serta sepatu olahraga Adidas, dan budaya konsumsi makanan cepat saji dimana yang paling terkenal dengan franchisenya yaitu McDonald’s.

Kalangan peritel menyebut bertumbuhannya mall-mall dengan ikon- ikon konsumerisme Barat di Indonesia sebagai strategi menjemput bola. Sebelum hadirnya mal-mal mewah ini, orang kaya Indonesia harus berburu hingga ke Singapura, Eropa, atau AS untuk mendapatkan barang-barang bermerek dari pusat-pusat mode internasional seperti Paris, London, Italia, dan New York.

Hal serupa juga terjadi untuk produk makanan, kosmetik dan toiletries (keperluan kamar mandi), perlengkapan rumah tangga dan lain-lain, dengan hadirnya jaringan ritel global seperti Carrefour, Giant, dan Wal Mart. Angka penjualan barang-barang bermerek dan juga konsumsi consumer goods (barang kebutuhan sehari-hari) lain terus melonjak dramatis dari tahun ke tahun, tidak peduli apakah perekonomian dalam kondisi sulit atau tidak.

Setiap dua dari 10 konsumen kelas menengah Indonesia yang disurvei AC Nielsen mengatakan, mereka memilih membeli produk karya desainer internasional, kendati 90 persen dari mereka menganggap barang tersebut terlalu mahal dan kualitasnya tidak istimewa. Hal tersebut membuktikan bahwa mereka membeli produk-produk itu lebih untuk status sosialnya di masyarakat.

Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite. Golongan baru ini melalui identitas barunya, seperti yang diungkapkan Stryker (1996) “ketika posisi sosial telah terinternalisasi, maka kita akan berbicara tentang identitas itu sendiri” maka identitas mereka terinternalisasi dan ditentukan oleh struktur budaya dan sosial yang dibangun melalui interaksi sosial. Mereka merasa lebih percaya diri dengan mengkonsumsi barang yang notabene buatan impor. Produk dalam negeri atau lokal menduduki predikat yang biasa saja di mata mereka.

Kerakusan kelas menengah-atas terhadap barang-barang bermerek menunjukkan gengsi yang melekat pada produk menjadi pertimbangan penting konsumen. Merek busana meningkatkan status sosial bahkan identitas seseorang. Orang dinilai dari apa yang dipakai, dikonsumsi, atau dibeli. Dengan merek, seolah mereka ingin mengatakan, "Inilah saya".

Pada kategori consumer goods, di semester I-2006, menurut AC Nielsen, angka penjualan 51 kategori produk consumer goods meningkat 10 persen dan untuk keseluruhan 2006 naik setidaknya 15 persen. Ini angka tertinggi kedua di antara 15 negara di Asia Pasifik. Keterpurukan ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama akibat kenaikan tajam harga bahan bakar minyak pada 2005, tidak memengaruhi konsumsi barang-barang ini.

Indikator konsumsi yang lebih digerakkan oleh gaya hidup ”import minded” ini juga tercermin meningkatnya alokasi belanja konsumen untuk makanan, meningkatnya jumlah mobil, meningkatnya belanja produk consumer electronics (barang elektronik), dan bahkan juga belanja makanan anjing dan kucing. Selain itu, konsumsi minuman ringan, rokok, kosmetik, toiletries dan juga belanja untuk rekreasi. Menurut AC Nielsen, 93 persen konsumen Indonesia termasuk recreational shoppers (pembelanja rekreasi). Mereka berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi lebih untuk kesenangan.

Hasil survei AC Nielsen memang belum mencerminkan gaya hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, mengingat responden hanya yang di Indonesia jumlahnya tak sampai 8 persen dan umumnya kondisi ekonominya baik, berpendidikan, dan ada di perkotaan.

Political and Economic Risk Consultancy menggambarkan Indonesia sebagai kebalikan total dari Singapura. Meskipun memiliki angka kemiskinan tinggi, konsumsi masyarakat di Indonesia mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir.

Ketika tingkat pengangguran begitu tinggi dan kondisi keuangan negara yang kritis, impor barang dari luar negeri malah meningkat sehingga begitu banyak devisa negara yang terkuras dan mengalir ke luar negeri. Barang-barang impor begitu merajai pasar retail dan grosir sehingga barang produksi dalam negeri malah tidak punya tempat di negeri sendiri karena kalah bersaing.

Jika dicermati, bisnis-bisnis yang prospeknya bagus beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah juga bisnis yang terkait dengan konsumsi. Selain properti, mal-mal atau pusat perbelanjaan, masuknya investasi asing seperti akuisisi perusahaan rokok HM Sampoerna oleh Philip Morris International juga karena konsumsi terkait gaya hidup. Budaya konsumtif ini mengimplikasikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik. Akibatnya, industri dalam negeri yang hanya memiliki sedikit modal dan minim kemampuan sumber daya manusia maupun alamnya banyak yang gulung tikar dan menambah jumlah pengangguran.

Sebagai sebuah proses dan perkembangan, globalisasi yang ditawarkan saat ini ternyata memiliki keburukan-keburukan yang tidak kalah besar dan pentingnya dengan peranan yang telah dihasilkan dalam proses globalisasi. Kita dapat saja menilai bahwa globalisasi telah mengangkat tingkat kesejahteraan ekonomi di dunia yang pernah dicapai oleh sistem sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa globalisasi telah menyebabkan kemiskinan yang belum pernah dicapai oleh sistem sebelumnya.

Selain itu, saat ini telah terjadi ketimpangan yang sangat signifikan baik dalam level individu, kelompok, maupun negara. Konsep kapitalisme ekonomi, merupakan sebuah sistem yang hanya dapat berjalan di tengah kesengsaraan orang lain. Kompetisi yang merupakan jiwa kebebasan yang diusung oleh kapitalisme tidak disertai penilaian terhadap kadar kemampuan. Mengenai konsep tersebut negara-negara miskin sadar bahwa mereka memiliki kapabilitas dan sumber daya yang terbatas sehingga mereka yakin bahwa produk-produk mereka akan dilumat oleh produk-produk dari negara-negara industri besar jika produk tersebut dibiarkan bebas masuk ke pasar domestik.

Di sisi lain, jika ingin lebih jeli, globalisasi dalam prosesnya juga telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak pernah terbayangkan dan sudah terjadi sebesar ini sebelumnya. Kerusakan hutan, habitat satwa liar dan langka, serta ekosistem yang mendukungnya telah tergerus oleh kepentingan-kepentingan korporasi kapitalis. Ketimpangan global terjadi dalam dua isu ini yakni ekonomi dan lingkungan.

Negara-negara miskin telah dipaksa oleh negara-negara industri besar untuk menandatangani kesepakatan pembukaan pasar bagi produk-produk impor dengan dalih bahwa pembukaan pasar tersebut akan meningkatkan perekonomian negara yang bersangkutan dan tentunya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah pembukaan pasar hanya akan meningktakan kesejahteraan kelompok-kelompok ekonomi asing dan segelintir kelompok domestik di negara tersebut.

Kelompok lainnya hanya akan termangu melihat setumpuk produk-produk asing yang mengisi mall-mall dan departement store tanpa sanggup membelinya karena daya beli mereka yang rendah. Padahal, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili oleh Uni Eropa, masih melakukan sebuah tindakan perlindungan terhadap produk-produk lokalnya terutama pertanian yang mereka nilai masih dinilai kurang stabil terhadap intervensi produk-produk asing.

Kekhawatiran lain akan adanya globalisasi yang menyebabkan gejala konsumtivisme ini lebih karena alasan bahwa konsumtivisme yang berlebihan cenderung menghancurkan nilai-nilai luhur budaya lokal, lunturnya identitas bangsa dan kesetiakawanan sosial, hancurnya industri nasional serta hancurnya lingkungan. Kekhawatiran itu beralasan karena konsumtivisme sudah seperti virus ganas, yang tidak saja menghinggapi kaum kaya di perkotaan, tapi juga mereka yang sehari-hari sebenarnya masih berkutat dengan masalah perut.

2.2. Lunturnya Kecintaan Terhadap Produksi Lokal

Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Berbagai hal yang memang bisa didapat dari sebuah kata dan prose globalisasi yang jalurnya bisa melalui berbagai lajur. Alih-alih memberi manfaat bagi masyarakat di negara berkembang, globalisasi justru mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya.

Salah satu kendalanya adalah lagi-lagi soal merk, dimana merk-merk yang dikenal saat ini adalah merk-merk yang berbau barat dengan segala bentuk strategi pemasarannya. Hal tersebut pulalah yang sekiranya membuat pasar domestik sedikit sepi, yaitu produsen kurang memberikan kebutuhan informasi mengenai produknya sehingga masyarakat pun belum optimal mendapatkan informasi yang memuaskan tentang produk dalam negeri, di samping faktor harga dan mutu, walaupun teknologi informasi sudah semakin canggih.

Sebagai respons dari gelombang globalisasi yang merugikan tadi, dewasa ini muncul gerakan atau kesadaran untuk "menolak" globalisasi dengan mengukuhkan tradisi atau potensi lokal. Di Bantul, Yogyakarta, misalnya, telah diluncurkan kebijakan baru yang diberi nama "Amanat Perjuangan Rakyat Bantul". Salah satu komitmennya adalah penggunaan bahasa Jawa dalam proses pelayanan publik setiap tanggal 20 setiap bulannya.

Masih di kawasan Yogya, ada upaya unik mempromosikan lokalism, yakni masuknya tiwul dalam food-industry modern yang dikelola oleh Indofood. Sementara itu di tataran internasional, "penolakan" terhadap globalisasi juga gencar dilakukan, termasuk tidak mau menggunakan produk-produk IT dari Microsoft, atau juga minuman kemasan yang banyak tersebar di pasaran. Nyatanya, orang-orang yang menolak produk global juga bisa eksis sebagaimana orang lain yang globalized (Kompas, 20/1/04).

Bentuk-bentuk penolakan seperti ini tidak hanya dengan maksud untuk mempertahankan perekonomian melalui pengembangan produk lokal, melainkan juga sebagai salah satu cara dalam rangka mempertahankan kebudayaan lokal yang semakin lama semakin terkikis. Ia telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia mana pun, dan merobohkan dinding-dinding batas antarnegara. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

2.3.Serbuan Produk Impor Berlisesnsi

Produk impor yang masuk ke Indonesia melalui pasar bebas semakin banyak, semakin bebas berkeliaran di toko – toko dan mal – mal di seluruh Indonesia, berbaur dengan produk impor berlisensi yang sebelumnya lebih dahulu berkecimpung di dunia marketing nusantara. Sebagian besar merek yang kita kenal di barang – barang elektronik, produk kecantikan, makanan dan minuman, perabotan rumah tangga, tempat makan, kendaraan, bahkan majalah yang sehari – hari kita baca pun merupakan produk impor berlisesnsi. Produk – produk yang banyak masuk ke Indonesia rata – rata dari Amerika, Taiwan, Jepang, dan yang paling dikenal adalah dari Cina

Masyarakat lebih memilih produk import yang berlisensi karena kualitas produk yang sekiranya telah dikenal di nasional maupun internasional. Hanya dengan melihat mereknya saja, mereka yakin bahwa merek tersebut terjamin kualitasnya. Misalnya alat elektronik buatan Jepang sudah pasti lebih bagus atau bahan makanan dan obat - obatan lebih percaya produksi atau merek – merek dari Cina yang mereka percaya sudah pasti lebih terjamin. Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi hal-hal tersebut, yang dimaksud untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Purnama, 2002). Merek bukanlah sekedar simbol, merek adalah janji penjual yang konsisten, merek akan memberikan ciri manfaat dan kelebihan- kelebihan suatu produk kepada pembeli. Merek sebenarnya mempunyai 6 tingkat pengertian, yaitu :

1. Atribut

Atribut-atribut yang mengingatkan pada merek-merek tertentu. Mercedez menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya.

2. Manfaat

Pembeli membeli produk, berarti membeli manfaat yang baik manfaat fungsional atau manfaat emosional. Misalnya atribut mahal mungkin diterjemahkan menjadi manfaat emosional, mobil ini membuat saya merasa penting dan dihargai.

3. Nilai

Nilai yang dibentuk oleh produsen. Jadi Mercedez berarti kenerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya.

4. Budaya

Merek dapat mewakili budaya tertentu. Mercedez mewakili budaya Jerman yakni terorganisir, efisien, berkualitas tingi.

5. Kepribadian

Merek dapat mencerminkan sebuah kepribadian seseorang yang sesuai dengan dorongan naluri, perasaan dan pengetahuannya.

6. Pemakai

Merek dapat menunjukan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan merek tersebut. Pemakai Mercedez, misalnya, diasosiasikan dengaan seorang manajer puncak.

Produk – produk berlisensi dan franchise yang bebas berkeliaran ini ada akhirnya hanya akan mempengaruhi tingkat konsumerisme dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat di mana MTV telah menjadi gaya hidup, McDonalds telah menjadi halte pemberhentian setiap orang untuk mengisi perut kosong dengan salad, kentang, dan sepotong sandwich, dan shoping malls telah sedemikian menjamur menggilas pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil pinggiran jalan, imagology telah menjadi ideologi gaya hidup yang diam-diam dianut semua orang.

3. KESIMPULAN

Globalisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah proses yang tunggal dan niscaya (inevitable), namun lebih harus dipandang sebagai sebuah proses yang harus dikritisi dalam perkembangannya. Globalisasi memiliki sisi baik dan buruk yang berdampak besar terhadap seluruh kehidupan manusia di dunia karena ruang lingkupnya yang luas. Oleh karena itulah, yang terpenting sekarang bukanlah mengambil secara mentah atau menolak konsep globalisasi yang ditawarkan, namun lebih kepada bagaimana globalisasi ini dapat dikendalikan menjadi sebuah proses yang lebih berkeadilan global.

Munculnya berbagai produk import di Indonesia memang memiliki banyak dampak positif maupun negatif di dalamnya. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah masyarakat Indonesia harus lebih dapat mengendalikan diri dan mentalnya agar tidak terlalu tergiur pada “kelebihan” yang ditawarkan produk import tersebut, namun juga dapat melihat secara seksama kualitas dari produk import yang ditawarkan itu sendiri dengan mengkonsumsi barang atau produk yang disesuaikan dengan pada kebutuhan mereka. Dengan demikian mereka tidak akan menjadi masyarakat yang konsumtif dan berbudaya “import minded”, melainkan menjadi masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk dalam negeri mereka sendiri.