Jumat, 04 Juli 2008

BERBISNIS DENGAN HATI

BERBISNIS DENGAN HATI NURANI

SEBUAH KENISCAYAAN MENJADI PEBISNIS SEJATI*

Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si.**

Berbisnis dengan hati nurani adalah suatu aktifitas bisnis yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur transendental dengan menghidupkan potensi utama kemanusiaan yaitu bisnis tidak hanya dilandasi oleh kepentingan materi semata yang bersifat sesaat (Beyond Rational), melainkan nilai-nilai yang dapat mengantarkannya pada tingkat kesadaran tertinggi sehingga mampu mendorong motivasi bisnis sebagai upaya membangun sejarah terbaik bagi diri dan kehidupan. Berbisnis dengan hati nurani adalah berbisnis di atas nilai-nilai spiritual yang dicirikan antara lain oleh nilai motivasi spiritual, komitmen spiritual, kepedulian spiritual, taqwa, ikhlas, amal prestatif, syukur prestatif dan silaturrahim dengan sesama. Hal inilah yang diyakini mampu menjadi kunci keberhasilan dalam perkembangan bisnis modern.

Namun, dalam kurun waktu yang cukup panjang manusia memahami bahwa indikator dan syarat utama sebuah keberhasilan dipahami sangatlah ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam merespon hal-hal yang bersifat akademis seperti menghitung, berlogika, berbicara, berfikir secara sistematis yang merupakan fungsi dari kerja otak kiri yang terletak pada neocortex, yang disebutnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sehingga untuk mengukur seberapa tinggi kecerdasan seseorang maka dilakukanlah uji dan penilaian IQ. Mereka yang memiliki skore IQ di atas 130 diklasifikasikan sebagai orang yang memiliki tingkat intelegensi sangat cerdas, skore 120-129 diklasifikasikan cerdas, 110-119 klasifikasi di atas rata-rata, 90-109 diklasifikasikan rata-rata, 80-89 klasifikasi di bawah rata-rata, 70-79 diklasifikasikan perbatasan sedang mereka yang hanya mencapai skore di bawah 69 dikatakan sebagai orang yang memiliki keterbelakangan mental (ideot).

Dalam perkembangan selanjutnya diyakini bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) ternyata maksimal hanyalah sekitar 20 persen saja dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh factor lain yang disebut dengan kecerdasan emosional, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional intelligence. Kecerdasan emosi dipahami merupakan fungsi dari kerja kerja otak kanan yang bernama lymbicsystem. Kecerdasan emosi mencoba untuk mematahkan paradigma kecerdasan yang hanya mengandalkan pada intelektual belaka. Bagi paradigma baru ini keberhasilan seseorang sangatlah ditentukan oleh kemampuannya untuk menghidupkan emosi. Menurut Daniel Goleman kecerdasan emosi meliputi dua kecakapan yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi terdiri atas tiga factor, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri dan motivasi. Sedang kecakapan sosial terdiri atas dua factor yaitu, empati dan keterampilan sosial.

Beberapa kompetensi dan kandungan dari kecerdasan emosi antara lain meliputi : kesadaran diri (self awarenens), meliputi : kesadaran emosi (Emotional self awarenes), penilaian diri secara teliti (accurate self assessment), percaya diri (self confidence) ; Pengaturan diri (self regulation), meliputi : Pengendalian diri (self control), Sifat dapat dipercaya (trustworthines), Kewaspadaan (conscieniousness), Adaptabilitas (adaptability), Inovasi (innovativeness) ; Motivasi diri (self motivation), meliputi : dorongan berprestasi (achievement drive), komitmen (commitment), inisiatif (initiative), optimisme (optimism) ; Kesadaran sosial (social awareness), meliputi : empati (emphaty), orientasi pelayanan (service orientation), mengembangkan orang lain (developing others), kemampuan mengatasi keragaman (laveraging diversity), kesadaran politis (political awareness) ; Keterampilan sosial (social skill), meliputi : pengaruh (influence), komunikasi (communication), kepemimpinan (leadership), katalisator perubahan (change catalyst), manajemen konflik (conflic management), membangun relasi (building bonds), kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), kemampuan tim (team capabilities).

Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata kecerdasan emosi diyakini bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dan kesuksesan seseorang, karena betapa sesungguhnya para koruptor tidakkah mereka memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi (paling tidak bergelar sarjana) dan kecerdasan emosional yang baik, misalnya pandai berkomunikasi dan memimpin orang lain ? namun kenapa tetap korupsi? Jawabannya karena mereka tidak memiliki kepekaan spiritual, moralitas, akhlaqul karimah. Sehingga muncullah kajian terbaru yaitu kecerdasan spiritual (SQ) yang ternyata juga masih dianggapnya sebagai salah satu fungsi disyaraf otak yang bernama God Spot atau terletak pada temporal lobe (salah satu titik syaraf dalam otak yang mudah merespon akivitas yang sifatnya spiritual dan menjadikan dirinya tenang).

Kecerdasan yang terakhir ini (SQ) dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas yang sifatnya spiritual. Namun sayangnya pusat kajian kecerdasan spiritual ini masih sebatas ada kajian yang sifatnya materi rasionalistik yaitu otak. Sedang pusat kesadaran tertinggi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersumber pada qolbunya (hati). Sehingga kecerdasan spiritual yang dipahami oleh kalangan barat akan sangat cenderung rasionalistik dan artifisial serta tidak menyentuh langsung pada pusat kesadaran. Namun bagaimanapun juga, paradigma kecerdasan ini telah memberikan sebuah perubahan cara pandang manusia dalam menilai kehidupan dan segala aktivitasnya. Setelah sekian lama manusia terjebak dalam penjara rasionalisme materialisme akibat system kehidupan kapitalistik yang menghegemoni dan menjadikan jiwa manusia gersang dan penuh kesepian di tengah hingar-bingarnya materi. Sehingga berbagai aktivitas dilakukan oleh banyak kalangan untuk memenuhi panggilan jiwanya yang dahaga akan spiritualitas (sebagai fitroh kemanusiaan yang haqiqi yang disebut dengan naluri ketuhanan, gharizah tadayyun) sebagai wujud pencarian identitas diri. Kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia pada penemuan hakekat diri yang sejati lebih dari itu kecerdasan ini telah terbukti sebagai alat yang dapat mengantarkan pada sukses dalam kehidupan.. Inilah sebuah era dimana spiritual menjadi pusat paradigma manusia (walaupun mungkin masih belum dapat dikatakan sebagai era kemenangan spiritualisme atas materialisme).

Beberapa data dapat ditunjukkan disini, misalnya pada tanggal 11 – 12 April 2002 di Harvard Business School diadakan seminar Leadership yang berjudul “Does Spirituality Drive Success In Business?”, Berbagai kalangan kaum praktisi bisnis dari silikon valey, lembaga-lembaga bisnis terkemuka di dunia selama 2 hari diskusi dengan sangat antusias membicarakan sejauh mana spiritualitas mampu membawa keberhasilan. Dalam seminar tersebut mereka sepakat bahwa konsep spiritualitas dapat menghasilkan: Integritas, Energi, Inspirasi, Wisdom, dan keberanian. Contoh- tokoh-tokoh pebisnis besar yang sukses dalam memimpin sekaligus sebagai spiritual leader yang bisa membawa sukses dalam kegiatan sehari-harinya. Misalnya antara lain :

1. Mr. Soichiro Honda (Pendiri Honda).

Ia memimpin 43 perusahaan di 28 negara, Ia tinggal di rumah sangat sederhana, tidak memiliki harta pribadi, hobinya melukis di atas kain sutera, tidak memberikan warisan harta kepada anak-anaknya kecuali ilmu bagaimana hidup mandiri di dunia bisnis.

Lalu apa yang sebenarnya dicari oleh Soichiro kalau bukan kebahagiaan dan ketenangan ?

2. Kyoto Ceramics

Adalah sebuah perusahaan di jepang yang memproduksi semacam Silikon, keramik untuk komputer. Omsetnya US$ 400 juta, laba bersih setelah dipotong pajak 12 %. Hal yang unik cara hidup sederhana dan memandang rendah kemewahan.

3. Bill “Microsoft” Gates

Pemiliki korporasi komputer terbesar dunia, microsoft. Dan bahkan termasuk orang terkaya di dunia, mengatakan bahwa 40 % penghasilan bersihnya dibagikan untuk kemanusiaan.

4. Konosuke Matsushita

Pemilik dan pendiri perusahaan elektronika besar dunia, sebuah perusahaan yang memproduksi semacam Toshiba dsb. Karyawannya luar biasa dan diseluruh dunia perusahaannya ini telah berkembang dengan pesat dan ia hanya lulusan kelas 6 SD. Misinya sederhana yaitu “Life is Not Only For Bread” (Hidup Bukan Hanya Untuk Sekerat Roti).

  1. Bahkan di negeri kita sendiri, Indonesia, banyak contoh kalangan pebisnis dan pengusaha yang dia tidak hanya sukses dalam materi dan membangun “kerajaan bisnis” namun juga sukses dalam membangun jiwa spiritualitasnya. Sebagai contoh H. Bisri Ilyas seorang pendiri dan pemilik real estate besar di kota Gresik, Gresik Kota Baru (GKB). Memulai usahanya dengan berjualan kopra dan minyak dengan bermodalkan kejujuran, dan akhirnya mengembangkan bisnisnya pada real estate, pertokoan, dan pom bensin sedang setiap hasil usahanya dia selalu menyisihkannya untuk pembangunan tempat ibadah dan pengembangan dunia pendidikan serta suka membantu bagi mereka yang membutuhkan, bahkan pada tahun 2006 beliau menginfaqkan 20 serifikat tanahnya senilai 2 miliar bagi aktifitas dakwah organisasi Muhammadiyah. Hal menarik yang menjadi prinsip bisnisnya adalah semua aktivitas bisnis yang dilakukan dibangun diatas spirit agama dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang diajarkan dalam Al Quran.

Begitu pula dengan seorang temannya Drs. Usman Affandi SE, seorang mantan pengusaha sukses dan sekarang mengabdikan dirinya sebagai dosen di Universitas Brawijaya Malang, memiliki jiwa yang luhur, suka memberi dan penuh pengertian, memiliki banyak anak binaan yang diantarkannya sebagai orang-orang sukses di perusahaan besar dan beberapa tempat kerja.

  1. Dalam pengalaman penulis, beberapa perusahaan besar di Indonesia membekali para karyawannya dengan berbagai pelatihan motivasi spiritual (spiritual motivation) misalkan dengan MQ (manajemen Qolbu), ESQ (Emotional Spiritual Quotient) atau CST (Corporate Spiritual Training) untuk membangun kesadaran diri dan meningkatkan motivasi kerja dalam bingkai spiritual. Sebagai contoh beberapa perusahaan yang pernah mengirimkan karyawannya untuk di latih kecerdasan ini dan penulis sebagai instruktur utamanya dalam CST (Corporate Spiritual Training), antara lain : PT. PLN, memberikan bekal kepada lebih kurang 600 karwayannya untuk mengikuti pelatihan ini secara bertahap. Begitu pula, PT. Semen Gresik, PT SwaBina Gatra, BNI, BTN dan beberapa perusahaan lainnya yang mengirimkan beberapa ratus karyawannya untuk mengikuti pelatihan ini dengan harapan dapat merubah cara pandang mereka terhadap kerja dan muncul motivasi kerja tertinggi atas dasar ibadah (spiritual worker).

7. John Naisbitt dan Patricia Aburdene, penulis buku Megatrend 2000 , mereka menulis sesuatu yang mengejutkan bahwa 67.000 pegawai Pacific Bell mengikuti pelatihan Spiritual ala New Age. Perusahaan-perusahaan lainnya adalah: P&G (Proter & Gamble), Ford Motor Company, AT&T, General Motor, dan IBM. Bahkan sebagaimana diberitakan oleh Asia Inc. pada Januari tahun 1999. Mark Moody, Pemimpin Senior salah satu perusahaan minyak terbesar dunia SHELL, ia memanggil seorang spiritualis (pendeta Budha) dan memberi training/terapi spiritual kepada 550 orang ekskutif perusahaan tersebut. (Sumber: The Corporate Mystic, Prof. Gay Hendricks & Kate Ludeman)

7. Prof. DR. Gay Hendricks & Kate Ludeman penulis buku The Corporate Mystics. Ia hampir 25 tahun menyelidiki dan masuk ke berbagai perusahaan –perusahaan untuk mengadakan wawancara. Tidak lebih dari 800 orang ekskutif yang diwawancarai dan diamati selama 25 tahun tersebut. Kesimpulannya mengejutkan: “Saya tidak pernah menyangka sebelumnya, saya menemukan para mistikus-mistikus itu semacam sufi-sufi justru bukan berada di tempat-tempat peribadatan, tapi saya menemukan mereka di meja-meja rapat”. Kemudian ia juga membuat ramalan yang mengejutkan bahwa abad 21 ini anda tidak akan menemukan para sufi di tempat-tempat peribadatan tapi anda menemukan mereka di korporasi-korporasi raksasa. Mysticus Corporate adalah semacam sufi yaitu orang-orang yang memiliki ilmu spiritualitas, nilai-nilai luhur, dan mereka menurut Prof. Gay Hendricks mereka bukan hanya bicara namun mempraktekkan nilai spiritualitas tersebut dalam perusahaan-perusahaan.

Berdasarkan data-data diatas membuktikan bahwa mereka bukanlah pencari-pencari harta, meskipun perusahaan mereka tumbuh menjadi perusahaan raksasa, mereka tetap menjadi seorang sufi, mereka ternyata bukanlah seperti yang kita bayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rakus tapi justru mereka mengamalkan ilmu spiritualitas, inikah bukti bahwa abad 21 ini adalah abad lahirnya era spiritualitas.

Sifat-sifat para Sufi Corporate menurut DR. Gay Hendricks & Kate Ludeman, antara lain meliputi :

1. Jujur

2. Adil

3. Tahu tentang diri sendiri

4. Fokus pada kontribusi

5. Non Dogmatis

6. Mampu membangkitkan potensi yang terbaik dari diri sendiri dan orang lain

7. Terbuka pada perubahan

8. Visioner

9. Memiliki disiplin diri ketat dan keseimbangan.

Sementara Islam sebagai agama yang agung semenjak awal pada belasan abad yang lalu (14 abad) telah membangun konsep kecerdasan spiritual ini dengan istilah akhlaq. Yaitu sikap yang terformulasikan atas dasar keimanan. Hal ini pulalah yang menjadi alasan diutusnya Rasulullah saw sebagaimana dalam sabdanya :

“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”.

Akhlaq, itulah yang dipraktekkan secara nyata oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam aktivitas keseharian baik dalam hubungan ketuhanan, hubungan dengan dirinya sendiri dan hubungan antar manusia termasuk cara sikap yang terbaik dalam bekerja. Sehingga kita mengenal sifat-sifat mulia yang miliki oleh Rasulullah dan ditiru oleh para sahabatnya seperti siddiq, amanah, tabligh, fatonah dan sikap-sikap baik lainnya. Sifat-sifat itulah yang sekarang menguat kembali dalam perbincangan dunia modern khususnya dalam refleksi dunia kerja.

Menguatnya paradigma spiritualitas ini juga dirasakan dibanyak perusahaan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar mencoba berupaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya dengan membekalinya melalui berbagai pelatihan yang bernuansakan spiritualitas, khususnya dalam rangka memotivasi semangat kerja para karyawannya dengan nilai-nilai spiritual. Berdasarkan pengalaman saya selama ini sebagai intruktur pelatihan, banyak kalangan perusahaan memberikan apresiasi yang sangat baik terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia perusahaan melalui pelatihan-pelatihan yang berbasis spiritual ini, yang saya beri nama dengan CST (Corporate Spiritual Training) ataupun SWOT (Spiritual Worker Training). Mereka menyadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pribadi dan perusahaan bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengusasi bidang pengetahuan (Knowledge) maupun penguasaan keterampilan teknis (Skill) tertentu, namun juga sangat ditentukan oleh formulasi sikap (Attitude) yang ditampilkannya dalam merespon berbagai tugas pekerjaan dan pola hubungannya dengan orang lain serta kesadarannya yang tingi akan nilai kerja itu sendiri. Disinilah fungsi spiritual memberikan sentuhan penting bagi penanaman nilai-nilai kerja tersebut.

Pemahaman spiritualitas meneguhkan akan tanggungjawab kerja yang diembannya dan mengarahkan penyadaran akan cara-cara kerja terbaik atas dasar nilai-nilai akhlaq dan spiritualitas yang tinggi sehingga bekerja menjadi bernilai ibadah. Motivasi ibadah selalu dibangun atas seluruh rangkaian pola hubungan (kerja, sosial, keluarga, diri pribadi dan ketuhanan) yang dilakukan secara integral, terpadu dan tidak parsial. Kesadaran akan setiap pola hubungan tersebut diyakini mampu mendorong munculnya motivasi dan produktifitas kerja yang tinggi atas dasar ibadah atau spiritual. Sehingga dapat melakukan bisnis secara jujur dan ikhlas, penuh semangat (spirit) yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritual (agama), melayani & beramal (dengan mengeluarkan kewajiban zakat, infaq dan shadaqah), memiliki kepedulian yang tinggi pada sesama, sungguh-sungguh (karena merasa dinilai oleh Allah Sang Maha Melihat), suci bersih (sikap jauh dari penyimpangan, penyelewengan dan kebohongan), prestatif (terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik dan bermanfaat & bernilai bagi orang lain), teladan (mau menjadi contoh terbaik dalam kebaikan bagi yang lain). Berbagai sikap ini menjadi hal yang sangat perlu dimunculkan dan dikembangkan dalam keseharian kerja oleh para pebisnis hati nurani (spiritual business).

Dasar dari semua sikap positif di atas adalah hidupnya hati, hati yang telah dipenuhi dengan cahaya ketuhanan. Sehingga menjadikannya mau tunduk pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang termanifestasikan dalam perilaku keseharian baik di rumah, di lingkungan dan di tempat bisnis dengan sikap-sikap positif, sikap yang penuh tanggung jawab dan sikap yang penuh gelora untuk menampilkan yang terbaik dalam kehidupan, serta diri yang tak pernah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk beribadah karena sadar bahwa inilah saatnya untuk mengukir sejarah kehidupan dengan tinta emas perilaku dan akhlaq yang agung. Hati yang bersih dan sikap yang terbaik, itulah yang dapat membuka pintu Rahmat Allah dan curahan segala kasih sayangNya.

Rahmat Allah dalam berbisnis inilah yang akan mengantarkan hasil rizqi yang halal barokah yang nantinya akan menjadi nafkah bagi anak istri yang dengannya akan menjadi darah yang mengaliri seluruh tubuh anggota keluarga sehingga tumbuh jiwa-jiwa yang sehat, pikiran-pikiran yang cerdas dan perilaku-perilaku yang diwarnai dengan akhlaq yang agung. Sehingga jadilah anak-anak yang soleh dan solehah serta keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Inilah saatnya untuk menghidupkan hati dan kembali pada nilai-nilai yang telah diajarkan agama dalam berbisnis dan mengarungi kehidupan dengan sebuah keyakinan bahwa sekecil apapun yang kita lakukan apabila bersandar pada aturan nilai agama, maka Allah pasti akan menegakkannya dan mewujudkan segala yang dicita-citakan.

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal soleh (kebajikan), bahwa Dia SUNGGUH akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia SUNGGUH akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah KU dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Tetapi barang sapa (tetap) kafir setelah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Dan laksanakanlah sala, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. An Nur : 55-56)

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice Blog Sir!Keep Spirit with your teaching and training activity!
Yakin Usaha Sampai
hehehe

Krisnawati T. mengatakan...

oke pak.......
ditunggu artikel selanjutnya

made pkpO6 mengatakan...

Nama : Tyas Wening PL
Jurusan/PS : SOSEK Pertanian / PKP
NIM : 0610450029
Di era yang serba canggih....masyarakat pada umumnya akan mengalami perubahan pola pikir...hal ini didukung dengan kecanggihan tekhnologi yang mampu memfasilitasi kehidupan manusia sehari hari...kebutuhan akan tehnologi sudah menjadi bagian dari kebutuhan primer manusia....dan tidak dapat dipungkiri bahwa arus perubahan tekhnologi di bawa oleh negara negara maju....sebut saja amerika serikat negara negara di eropa dan jepang....bahkan sat ini perdagangan china juga mulai merajai perdagang di dunia. Dengan demikian, masyarakat indonesia pun tidak akan mampu menghindar untuk menggunakan barang barang yang di branding oleh negara negara maju tersebut. Pilihan yang sulit kemudian dihadapkan kepada masyarakat indonesia yang masih berada pada level negara berkembang, dengan didorong kebutuhan hidup akan kecanggihan tekhnologi maka pilihan pun jatuh pada penggunaan alat alat atau sebut saja produk buatan negara lain dan bukan negara indonesia. Beberapa product buatan indonesia juga mulai mendekati kearah tekhnologi..sehingga mungkin bisa menggantikan product berteknologi buatan luar negri...tapi image sudah terbentuk..dimana bermerk luar negri lebih memberikan jaminan mutu yang baik...padahal pada kenyataan tidak semua terjadi demikian...tapi entah siapa yang harus disalahkan....dan siapa yang harus dibenarkan...keadaan seperti disebutkan diataslah yang membudidaya di masyarakat indonesia....dan untuk itu pemilih dan penyedia produk lah yang harus menyelamatkan keadaan seperti disebutkan diatas. Dan jelas sangat membutuhkan proses yang memakan waktu yang relatif tidak singkat yang juga harus disertai dengan publikasi dan perbaikan produk buatan dalam negri.

made pkpO6 mengatakan...

Nama : Made Nick B
Jurusan / : PS : SOSEK Pertanian / PKP
NIM : 0610453007
Tugas : Komunikasi lintas budaya (comentar)


Komentar saya mngenai blog yang bapak sajiakan ialah. Saya sangat setuju sekali apabila bapak mengatakan bahwa di era globalisa sekarang ini produk local sudah semakin tidak diminati lagi, menurut saya hal itu disebabkan karena kemajuan IPTEK alias ilmu dan tekknologi yang mengakibatkan tidak adanya batasan ruang dan waktu, kita sebagai bangsa atau orang Indonesia akan sangat mudah sekali apabila kita mempunyai keinginan untuk melihat seperti apa sich gaya dari orang yang berada di Negara-negara barat atau Negara-negara yang selalu di agung-agunkan karena berhasil menginspirasi banyak orang, dengan cukup menyetel televise kita akan sudah mendapat banyak referensi bagaimana gaya mereka, pola hidup mereka, sampai gaya bicara mereka juga, apalagi sekarang dunia internet dan multimedia sudah berkembang sangat cangih, cukup dengan menuliskan sepatah kata kunci saja kita sudah bisa langsung bisa mendapatkan informasi yang kita inginkan. Aspek-aspek dan unsur
seperti itulah yang akhirnya mempengaruhi kita dan meningkatkan rasa untuk ikut mencoba seperti itu juga, image yang dibangun dari kemegahan kemajuan jaman atau yang biasa kita sebut sebagai globalisasi itu juga akan mendorong kita untuk senantiasa terpacu mengikuti gaya-gaya atau pola hidup dari orang-orang yang menurut anggapan kita adalah orang yang hidupnya “penuh dengan kesenangan”, karena kemajuan jaman juga orang-orang akan lebih banyak mendapat refernsi gaya hidup dari bangsa-bangsa lain diluar negaranya. Di atas nama “globalisasi” banyak orang yang meningkat rasa gengsinya, sebenarnya hal itu juga sangat mutlak dipengaruhi oleh image yang sudah terlanjur melekat di masyarakat jaman sekarang.... kalau kita memekai barang-barang yang bermerek kita akan terlihat lebih keren, cantik, atau tampan, image dan pemikiran seperti itu lah yang sudah meracuni orang-orang yang hidup di era globalisasi seperti ini, tapi sebenarnya mereka juga tidak
bisa sepenuhnya dipersalahkan, karena mereka juga hanya sebagai korban dari kemajuan IPTEK dan perkembangan pasar. Kita tidak boleh mengungkiri, bahwa orang-orang yang berwajah tampan, cantik, berbadan bagus dan menarik lah yang memang punya nilai jual lebih tinggi, oleh karena itu mereka-mereka itulah yang nantinya akan dibungkus dengan segala macam barang-barang atau produk-produk bermerek, sebenarnya mereka itu hanya menjadi tameng dari beberapa pihak periklanan yang akan mempromosikan produk mereka, tetapi dengan semakin banyaknya kebutuhan yang harus diselesaikan.... maka banyak orang-orang yang tidak berfikir sejauh itu mengenai hal tersebut, yang ada dipikiran mereka pada saat mereka melihat Leonardo Dicaprio yang sedang berpose disuatu majalah dengan menggunakan kaos POLO, dan sepatu ADIDAS hanyalah “mereka juga pasti akan terlihat sekeren Leonardo dicaprio apanila mereka juga memakai kaos polo dan sepatu adidas itu. Suatu hal yang lucu
memang, tapi itu lah yang terjadi dengan hampir kebanyakan orang-orang yang hidup dijaman atau era globalisasi sekarang ini. Makin gencarnya produk bermerek yang sudah punya nama dan tempat special di hati orang-orang melakukan promosi, semakin tertinggal juga produk-produk local yang sebenarnya kalau mau lebih dikembangkan juga tidak kalah dengan produk bermerek internasional. Sebenarnya apa sich yang menyebabkan sehingga orang-orang kurang begitu berminat dengan produk local, ya walaupun mereka juga akan berminat kalau uang mereka hanya cukup untuk membeli produk local tersebut. Sebenarnya yang terjadi itu adalah karena pihak pemproduksi barang buatan local itu sendiri yang kurang memperhatikan kualitas barang huatannya, kita ambil contoh saja sepatu. Ada beberapa image dan pemikiran yang terbentuk dimasyarakat kita tentang produk local, yang pertama mereka selau beranggapan bahwa produk local itu tidak akan sekuat produk impor, produk local kurang
bergengsi, dan apabila menggunakan produk local tidak akan sekeren apabila menggunakan produk impor. Sebenarnya msyarakat juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, apabila masyarakat berpikiran bahwa produk local tidak akan lebih kuat dari produk impor, itu kan juga karena ulah dari produsen barang produk local itu sendiri yang sengaja menurunkan kualitasnya untuk bisa mendapatkan keuntungan yang besar, tidak perlu ragu untuk membicarakan hal ini, karena memang seperti itu kan yang terjadi, lalu jika masyarakat berfikir apabila menggunakan produk local terlihat tidak bergengsi... selain karena pengaruh merek asing yang membanjiri pikiran mereka tapi hal itu juga karena kurang adanya inisiatif dari produsen local yang semestinya melakukan promosi dengan cara yang menarik agar konsumen lebih tertarik dengan produk yang ditawarkan, jadi sebenarnya keterpurukan produk local itu juga bukan sepenuhnya salah dari “globalisasi”, Globalisasi hanya menjadi ruang
dari kondisi tersebut, sebenarnya apabila mau, produk local juga pasti akan bisa menjadi favorit dikalangan masyarakat, tapi tentunya hal itu juga harus diimbangi oleh kesadaran produsen untuk segera memperbaiki kualitas produknya baik dari model, warna, kekuatan, dan karakteristik-karakteristik lain yang masih bisa dikatagorikan sebagai kualitas, menjualnya dengan harga yang wajar, dan melakukan promosi dengan cara yang layak dan digemari oleh orang-orang juga. Kabar baiknya sekarang produk local sudah semakin dilirik oleh masyarakat, contohnya saja batik, hal itu juga disebabkan karena pihak-pihak yang terkait dengan 3 hal yang telah saya sebutkan diatas tadi sudah mulai melakukan hal itu.

LEBIH ASIK PAKE PRODUK DALAM NEGERI SENDIRI LHO.....

linda PKP/0610450019 mengatakan...

Pada era globalisasi perdagangan tidak lagi mengenal batas suatu negara, sehingga akan terjadi persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Globalisasi sebagai tantangan zaman menuntut adanya pasar bebas yang sebebas – bebasnya. Yang mana bebas produksi, dan bebas promosi. Produktivitas industri semakin tinggi seiring daya beli konsumen yang semakin tinggi. Dalam hal ini, produk luar negerilah yang memang menyilaukan gairah beli warga kita. Dan baru – baru ini ramai juga dibicarakan tentang rencana kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang penanaman modal asing. Pasar bebas memungkinkan perusahaan – perusahaan level Internasional untuk memasarkan produknya ke berbagai negara. Produk impor yang dipasarkan dapat beredar secara bebas ke seluruh pelosok negeri. Keberadaan produk impor ini telah menggeser hasil produksi dalam negeri. Padahal industri lokal pada dasarnya mampu membuat barang yang kualitasnya tidak kalah dengan perusahaan asing. Namun ternyata realitanya, prioritas pemilihan produk justru jatuh kepada label-label produk asing. Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite.
Dalam masalah ini, untuk mengatasi krisis kecintaan terhadap produk lokal sejatinya bukan terbatas pada aksi beramai-ramai membeli produk lokal semata. Tapi lebih kepada kontribusi kritis kita terhadap perkembangan produk-produk lokal kita yang kebanyakan memang kerdil. Kita bisa mengamati bahwa kecendrungan masyarakat untuk lebih memilih produk asing banyak disebabkan oleh kurang-mampunya produk-produk lokal tersebut dalam persaingan secara kualitas atau kemasan. Di sinilah pembenahan harus diupayakan. Harus ada penanaman persepsi di benak pengusaha kita bahwa sesungguhnya modal produksi bukan semata modal materi, tetapi yang tak kalah penting adalah modal keberanian dan kecakapan untuk memproduksi produk-produk yang bermutu dan sesuai dengan selera konsumen.
Di lain sisi, kebanyakan pengusaha kita kurang banyak yang inovatif menentukan jenis produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mereka cenderung latah dalam menentukan jenis produksi. Mereka kurang memperhatikan produk apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat, ini yang menyebabkan jika hasil produksi ternyata kurang dibutuhkan konsumen setempat.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah permasalahan-permasalahan teknis produksi yang seringkali menghambat proses distribusi dan ekspansi produk. Hal-hal ini seing kurang mendapat perhatikan serius. Seperti masalah penyiapan sistem / komponen pendukung yang lengkap dengan target dan strategi promosi sebagai perangkat presentasi bisnis bagi member, khususnya bagi perusahaan yang memerlukan stock center produk. Atau dalam konteks pemasaran, harus selalu diupayakan perancangan rencana pemasaran dengan pemasaran jaringan konsep masa kini.
Yang terakhir berkenaan dengan prosedur perolehan hak paten, di mana perusahaan-perusahaan lokal kita sering dihambat oleh permasalahan perolehan hak paten dan merek dagang yang masih banyak kekurangan dalam sistem pelayanan pengurusannya sehingga banyak produk karya anak bangsa yang seharusnya dipatenkan di Indonesia, justru dipatenkan di negara lain. Ini tentunya juga harus menjadi catatan penting bagi pemerintah kita. Pemerintah harus bertindak cepat dalam mengatasi masalah ini karena kalau dibiarkan berlarut – larut, maka akan semakin banyak lagi produk dalam negeri yang akan dipatenkan oleh negara lain.
Untuk mengatasi semua masalah tersebut, semua pihak memang dituntut untuk memerankan posisinya dalam mengatasinya. Mulai dari para pengusaha selaku aktor utama yang harus benar-benar mengupayakan tingkat produktivitas dan pemasaran terbaik mereka, lalu pemerintah yang selain dituntut untuk meringankan prosedur produksi juga dituntut untuk terus gencar mengkampanyekan sekaligus langsung mencontohkan program Nasional “Gemar Produk Indonesia”. Selain itu, pastilah masyarakat kita selaku objek pencanangan “Gemar Produk Indonesia” ini. Karena memang sudah saatnya kita membuka mata pada produk-produk lokal kita. Sudah saatnya untuk meyakini bahwa produk lokal kita memang bisa diandalkan.
Produk lokal kita sesungguhnya mempunyai mutu dan kualitas yang tidak kalah bagus dengan produk – produk negara lain. Oleh karena itu, kita harus optimis dan lebih semangat lagi untuk mengikuti jejak negara-negara industri baru seperti Cina yang telah beberapa langkah meninggalkan kita dalam hal penggunaan produk lokalnya dan jiwa kebangsaan kita dalam hal cinta produk dalam negeri akan semakin tertanam dalam semangat masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak akan menjadi masyarakat yang konsumtif dan berbudaya “import minded”, melainkan menjadi masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk dalam negeri mereka sendiri.