BELAJAR CERDAS EMOSI DAN SPIRITUAL DARI KISAH IBRAHIM
Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos. M.Si.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillaahilhamdu
Maasyiral muslimin hafidhakumullah
Idul adha adalah hari perwujudan cinta kita kepada Allah, melalui semangat pengorbanan dan saling berbagi, dengan banyak mengambil pelajaran dari perjalanan hidup nabiyallah Ibrahim. Idul Adha juga merupakan hari perwujudan totalitas pengabdian kepada Allah melalui aktivitas ibadah haji yang sekarang sedang dilaksanakan oleh saudara-saudara kita di kota suci Makkah, di Arafah. Dua peristiwa penting inilah sesungguhnya yang menjadi pijakan sejarah dalam pelaksanaan Idul Adha ini, yang setiap kita diharapkan secara cerdas dapat mengambil pelajaran terbaik dari keduanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillaahilhamdu
Maasyiral muslimin hafidhakumullah
Marilah kita belajar bersama dari dua peristiwa penting tersebut. Pertama, marilah kita belajar dari Ibrahim. Kita mengenal nabi Ibrahim sebagai bapak agama-agama monoteisme (abu al ad-yaan / the father of monotheism), guru kehidupan. Karena Dari nabi Ibrahim banyak lahir kaum termasuk kaum yahudi dan dari beliau pula lahir para nabi baik nabi Isa yang darinya merujuk agama Nasrani dan nabi kita Muhammad saw yang merujuk padanya agama Islam. Dari nabi Ibrahim kita bisa banyak belajar tentang kehidupan. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita arti sebuah semangat untuk mencari kebenaran.. Hal ini tampak disaat beliau masih remaja, disaat kegelapan malam dan menginginkan menemukan kebenaran sejati tentang siapa sesungguhnya yang mencipta kehidupan ini yang nantinya kepadanya seluruh umat manusia harus menyembah dan mengagungkannya. Ibrahim mengajarkan kepada kita untuk meneliti realitas kehidupan ini, belajar dari alam semesta, belajar dari sekitar kita untuk dapat menemukan Allah. Beliau berani melakukan dialog internal dengan dirinya, seraya mempertanyakan siapakah yang layak disembah, diagungkan dan dipertuhankan : bintangkah, bulankah atau mataharikah (Q.S. Al An’am 6: 75-79), baginya segala yang dia lihat dalam kehidupan itu sangat mungkin diagung-agungkan, disembah dan dipertuhankan oleh umat manusia setelahnya. Bisa jadi manusia mempertuhankan harta, kekayaan dan segala perhiasan dunia yang disimbolkan oleh bintang yang bertaburan yang indah dilihat oleh mata. Atau mungkin juga bisa jadi manusia mempertuhankan wanita, kecantikan, ketampanan dan berbagai asesoris penampilan fisik lainnya yang disimbolkan oleh bulan sebagaimana kita selalu mengasosiasikan paras cantik seorang wanita dengan bulan. Atau mungkin bisa jadi manusia juga mempertuhankan jabatan dan kekuasaan sebagaimana yang disimbolkan oleh matahari. Namun semuanya itu ditolak oleh Ibrahim karena menurutnya semua itu bersifat fana, sementara dan mudah hilang, tidak kekal. Baginya yang layak untuk disembah, diagungkan dan dipertuhankan dalam kehidupan inilah adalah dzat yang harus kekal dan itulah Allah Yang Maha Mencipta segalanya.
2
3
Lalu coba perhatikan pada diri kita, bagaimana sikap kita selama ini dalam kehidupan, apa yang kita sembah sesungguhnya ?. Untuk mengetahui apa yang kita sembah sesungguhnya sangat mudah mendeteksinya. Yaitu dari apa yang menjadi motivasi diri kita selama ini dalam kehidupan. Karena motivasi seseorang, akan menjadikannya mengagungkan wujud motivasi itu. Sedang sikap pengagungan itu adalah dasar dari perilaku menyembah yang sesungguhnya. Untuk itu apa yang menjadi motivasi terbesar kita bekerja selama ini. Allah-kah, atau harta, keluarga, jabatan, prestise diri, pendidikan atau uang atau yang lainnya? Cukuplah semua ini kita renungkan dan kita jawab sendiri-sendiri dalam hati kita secara jujur. Lalu bertaubatlah pada Allah sekiranya ternyata bukan Allah yang menjadi motivasi kita. Karena sesungguhnya kita tidak menyembah Allah secara ikhlas dan sungguh-sungguh, karena bisa jadi penyembahan yang kita lakukan selama ini adalah dipenuhi dengan segala kepalsuan. Bertaubatlah dan kembalilah pada Allah, wahai kaum muslimin, karena Allah Maha Penerima Taubat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
Dari Ibrahim kita juga belajar tentang tanggung jawab keluarga dan sosial. Lihatlah bagaimana nabiyallah Ibrahim ini memiliki kepedulian yang tinggi terhadap berbagai kemungkaran yang ada disekitarnya dan beliau dengan terbuka serta gagah berani untuk menolaknya dengan cara yang sangat cerdas. Lihatlah apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat melihat berhala dipertuhankan oleh ummatnya. Naluri ketuhannya menggelora untuk mengatakan kebenaran. Disinilah muncul rasa tanggung jawab yang tinggi dalam dirinya untuk menyelamatkan keluarga dan lingkungannya. Dia katakan kebenaran kepada bapaknya dengan cara yang halus karena telah memproduksi berhala walaupun bapaknya akhirnya juga menolaknya. Namun dia tetap mendoakan agar Allah menyadarkan dan mengampuninya. Sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam Al Quran :
“Dia (Ibrahim) berkata (kepada bapaknya) : “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (Q.S. Maryam 19 : 47)
4
Lalu sekarang cobalah kita lihat pada diri kita masing-masing. Bagaimana sikap kita disaat dihadapan terdapat kemungkaran baik dirumah kita, di kantor, atau di lingkungan masyarakat. Apakah kita mendiamkannya atau meluruskannya ? lalu bagaimana dengan istri kita, anak-anak kita, orang tua kita. Masihkan mereka berbuat maksiat pada Allah dan masihkah kita mendiamkannya ? tidakkah kita sadar bahwa sesungguhnya semua itu adalah tanggung jawab diri kita, khususnya wahai para suami. Allah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu....”(Q.S. At Tahrim 66 :6)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
5
Ibrahim juga mengajarkan akan makna keberanian untuk mengatakan kebenaran dihadapan penguasa yang dhalim dengan sangat cerdas melalui dialog-dialog yang rasional. Lihatlah bagaimana Ibrahim disaat menghancurkan berhala-berhala itu dan menggantungkan kapaknya dileher berhala yang sangat besar. Dan saat dinterogasi oleh penguasa, apa yang dikatakan oleh Ibrahim, perhatikan kalimat cerdas ini, Ibrahim berkata : “kalau engkau tahu berhala itu tidak bisa melakukan apa-apa, lalu mengapa engkau masih menyembahnya ?”. lalu coba lah kita renungkan bagaimana sikap kita terhadap berhala-berhala kehidupan disekitar kita ?. disaat berhala jabatan dan kekuasaan disembah, berhala harta benda diagungkan yang menjadikan diri kita sombong, meremehkan dan merendahkan orang lain. Wahai kaum muslimin, dapatkah jabatan, kekuasaan, dan harta kita menolong kita atas berbagai pertanyaan Allah disaat yaumul hisab nanti. Oleh karena itu jangan sia-siakan kesempatan untuk mengabdi pada Allah melalui jabatan, kekuasaan dan harta yang sekarang kita miliki. Jadikan semuanya menjadi sarana mendekatkan diri pada Allah. Pergunakanlah jabatan, kekuasaan dan harta untuk mengajak diri kita dan orang lain lebih dekat pada Allah, lebih giat beribadah dan mampu meninggikan agama Allah ini. Inilah sesungguhnya konsep aji mumpung yang benar.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
Dari Ibrahim kita juga bisa belajar kesetiaan dan keagungan cinta. Cinta kepada Allah yang mengalahkan segalanya bahkan kecintaanya terhadap anaknya sendiri. Perhatikan bagaimana Ibrahim dengan segala ketulusan pengorbanan mempersembahkan hewan qurban yang terbaik kepada Allah setiap tahunnya dengan jumlah yang sangat besar semata-mata hanyalah untuk beribadah dan mengabdi sebagai wujud rasa cintanya yang tulus kepada Allah karena Allah telah memberinya kehidupan dan penghidupan, rezeki dan kenikmatan, kesehatan dan kesempatan.
Cobalah kita bayangkan sekarang, betapa kenikmatan yang Allah berikan tiada tara kepada kita, mata masih bisa melihat, telinga masih bisa mendengar, mulut masih bisa berucap, tangan masih dapat digerakkan, kaki masih dapat melangkah, dan lebih-lebih hidung masih dapat menghirup udaraNya (oksigen) dengan mudah tanpa alat bantu dan tanpa biaya. Tidakkah kita sadar, bagaimana disaat Allah dengan serta merta mencabutnya dan menghilangkan satu dari sekian kenikmatanNya itu, sehingga tidakkah layak bagi kita untuk bersyukur, lalu nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ? (fabiayyi alaa-I rabbikuma tukadzdzibaan). Dan itupulalah yang dilakukan oleh Rasulullah sang kekasih Allah dengan ibadahnya hingga kakinya bengkak semata-mata hanya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam dan rasa syukurnya tinggi kepada Allah sang maha Pemberi (Al Wahhab). Namun kecintaan tetaplah harus diuji. Apakah benar-benar memiliki cinta sejati atau cinta dengan segala kepalsuan ?. (kembali pada kisah Ibrahim) Untuk itu Allah menguji dengan suatu perintah yang menurut akal sehat tidaklah mungkin akan dilakukan oleh siapapun, lebih-lebih oleh orang tua yang memang semenjak lama mendambakan memiliki seorang anak dan Allah mengabulkannya melalui rahim seorang budak mulia yang bernama siti hajar. Dan disaat usia sang anak benar-benar membuatnya sayang. Allah mengujinya dengan memintanya untuk membunuh anaknya yang sangat dicintainya semata-mata untuk menguji kecintaanya pada Allah. Seakan Allah ingin mengatakan pada Ibrahim : wahai Ibrahim mana lebih yang kamu cintai, Aku (kata Allah) atau anakmu. Inilah ujian kecintaan dan keimanan yang sesungguhnya. Allah berfirman :
8
8
6
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji ?” (QS Al Ankabut 29 : 2 )
Cobalah kita bayangkan sekiranya apa yang dialami Nabiyallah Ibrahim, diujikan pada diri kita. Disaat kita sangat mendambakan sesuatu (apakah itu anak dan keluarga, harta berupa mobil atau rumah, kekuasaan, jabatan dan sebagainya) dan pada saat kecintaan itu sedang memuncak, seketika itupula Allah mengujinya. Apakah dalam bentuk menambah nikmat yang diberikan atau sebaliknya Allah memintanya kembali dan mencabutnya. Lalu kiranya bagaimana sikap kita ? apakah tambah dekat pada Allah dan segera memenuhi perintahnya atau malah menyombongkan diri dan menjauh dari-Nya ? siapa yang akan kita pilih untuk kita dahulukan kebutuhannya ? siapa yang lebih kita cintai ? bagaimana sikap kita saat semuanya dicabut, menerima dengan ikhlas atau sebaliknya ?
7
Ikhwah fillah, ketahuilah Nabiyallah Ibrahim disaat menghadapi ujian yang sangat berat tersebut, walaupun secara manusiawi dia bimbang dan berat, namun kebimbangannya itu mampu dikalahkannya dengan semangat pengabdian dan keimanan yang luar biasa yang semata-mata hanyalah ingin menunjukkan rasa cintanya yang begitu mendalam kepada Allah. Dia lebih memilih memenuhi perintah Allah dari pada kepentingannya sendiri. Dengan semangat pengabdian itulah, Allah subhanahu wataala menurunkan hidayah dan pertolongannya.
Ikhwah fillah, Inilah kiranya pelajaran yang sangat berharga dari kisah pengabdian Ibrahim yang selalu kita peringati setiap idul adha ini, bahwa apabila kita menginginkan hidayah dan pertolongan dari Allah atas segala cobbaan dan persoalan kehidupan kita, baik persoalan personal, sosial ataupun bangsa ini, maka belajarlah pada Ibrahim, yaitu dengan terus tunjukkan cinta sejati pada Allah dengan tidak menduakannya seraya terus mengabdi, berkorban, mendahulukan kepentingan Allah, memenuhi perintahNya dan terus mendekatkan diri kepadaNya, jadikan aturan dan hukum-hukum Allah sebagai cara untuk mengatur hidup kita, baik dalam keluarga, masyarakat maupun bernegara. Karena aturan-aturan itu dibuat demi kebaikan ummat manusia, tidak hanya untuk pribadinya saja tapi juga untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara. Jika kita menyerahkan dengan sepenuh hati segala urusan itu pada Allah, tentulah pintu jalan keluar akan terbuka lebar, karena itulah janji Allah :
11
“ ......... Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya (pasti) Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah (pasti) melaksanakan (memenuhi) urusan (janji) Nya.” (Q.S. At Thalaq 65 : 2).
“..... Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam segala urusannya”. (Q.S At Thalaq 65 : 3)
8
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
Dari kisah sejarah Ibrahim kita juga bisa belajar tentang istri solehah. Lihatlah Sarah dan Hajar. Dua wanita terbaik dalam sejarah dan termasuk dari wanita-wanita yang dimuliakan oleh Allah. Sarah, istri nabiyallah Ismail pertama, adalah tipologi seorang wanita sekaligus istri solehah, ia adalah istri yang tenang menghadapi cobaan baik yang tertimpa atas dirinya (mandul) maupun atas suaminya (ujian di jalan dakwah). Dia juga penuh tawakkal pada Allah, pintar dan memahami resiko yang dihadapi. Begitu pula Hajar, wanita kedua yang dinikahinya karena Sarah mandul. Hajar adalah tipologi wanita dan istri solehah yang penuh tawakkal pada Allah dan penuh kearifan bersikap serta memiliki semangat yang tinggi untuk mengabdi pada Allah dan suaminya. Perhatikanlah hadist Rasulullah yang menjelaskan kisah Ibrahim dan Hajar ini.
9
Ibnu Abbas berkata : wanita pertama yang memakai ikat pinggang adalah Hajar ibu Ismail. Dia memakai ikat pinggang untuk menutupi tanda hamilnya dihadapan Sarah. Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan Ismail – ketika itu Hajar sedang menyusukan Ismail—lalu menempatkannya disamping baitullah dekat pohon besar diatas zam-zam dan bagian atas masjid. Ketika itu belum ada seorang pun tinggal di Makkah juga tidak ada air. dIsanalah Ibrahim menempatkan mereka. Ibrahim meletakkan disamping mereka satu kantung korma dan satu tong air. Kemudian Ibrahim pulang lagi ke Syam —tempat dimana dulu dia dengan sarah dan hajar tinggal untuk berdakwah – Ibu Ismail segera membuntuti Ibrahim suaminya dan berkata : “hai Ibrahim hendak pergi kemana engkau ? dan Kau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan apa-apanya ini”. Hajar menyampaikan pertanyaan itu kepada Ibrahim berulang kali, sementara Ibrahim tidak menoleh kepadanya sama sekali. Lalu Hajar bertanya lagi : “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan perbuatan ini ?”, Ibrahim menjawab : “ya”. Lalu Hajar berkata : “kalau demikian halnya, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami”. Kemudian Hajar kembali (ke Baitullah). Menurut satu riwayat Bukhari (disebutkan) : “wahai Ibrahim, kepada siapa engkau tinggalkan kami”. Ibrahim menjawab : “kepada Allah”. Hajar berkata : “aku pasrah kepada Allah”.
Cobalah kita perhatikan dialog tersebut, selanjutnya cobalah kita renungkan dalam diri kita (khususnya para istri) bagaimana sikap ketawakkalan pada Allah atas rezeqi yang Allah berikan melalui suami kita, bagaimana ketawakkalan kita terhadap berbagai persoalan yang sedang diujikan oleh Allah pada keluarga kita, bagaimana sikap kita untuk saling dukung mendukung dalam ibadah kepada Allah ?
Dalam lanjutan hadist dikisahkan, bagaimana Hajar dengan kesendiriannya berusaha keras untuk menemukan air untuk anaknya Ismail, sehingga harus lari dari Shafa ke Marwa (dalam riwayat disebutkan 7 kali) dan inilah yang akhirnya ditiru oleh para jamaah haji saat menunaikan ibadah sa’i. Sehingga sesungguhnya ibadah haji tidaklah hanya sekedar ibadah ritual belaka (apalagi ibadah untuk prestise diri, naudzu billah) melainkan dalam ibadah haji manusia diajak belajar banyak dari Ibrahim dan keluarganya (istri-istri dan anak-anaknya). Tentang bagaimana dia menjadi seorang suami teladan, istri solehah dan anak yang soleh.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
Dari kisah sejarah Ibrahim kita juga bisa belajar tentang anak soleh. Lihatlah Ismail, seorang anak muda belia yang cerdas emosi dan spiritual. Disaat datang perintah Allah kepada bapaknya untuk membunuh dirinya, ia (ismail) tidak menolaknya, bahkan mendukung dan memotivasi sang bapak, karena ia (ismail) tahu bahwa perintah yang sampai kepada sang bapak adalah perintah dari Allah sang pencipta kehidupan, yang berarti memenuhi perintah Allah adalah ibadah dan mendukung terlaksananya perintah juga bermakna ibadah. Perhatikan apa yang dikatakan pemuda Ismail kepada Ibrahim :
10
“..... Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. (Q.S. As Shoffat 37 : 102)
15
15
Inilah Ismail, dia adalah contoh teladan bagi setiap pemuda, buat semua anak. Dialah contoh anak soleh yang sejati. Dia mampu menjadi pendukung kebenaran dan kebaikan bagi orang tuanya, ia ingin agar orang tuanya menjadi orang yang dapat tunduk dan patuh pada Allah, sehingga dia mempersembahkan yang terbaik bagi orang tuanya dalam rangka ibadah kepada Allah. Kesolehan Ismail sebagai anak, bukanlah lahir serta merta dengan sendirinya. Tetapi merupakan hasil proses pendidikan terbaik yang terinternalisasi dalam dirinya melalui pendidikan dan pengalaman langsung yang dicontohkan oleh orang tuanya dan lingkungannya, Ibrahim. Melalui contoh-contoh nyata sang Bapak dan Ibu yang tekun, taat ibadah, penuh kecintaan dan pengabdian pada Allah serta berharap semata hanya pada Allah, sayang dan hormat pada orang tua, memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap kehidupan melalui penegakan amar ma’ruf nahi mungkar,. Sikap-sikap itulah yang akhirnya dicontoh oleh sang anak, Ismail.
11
Ikhwah fillah, belajar dari Ibrahim, sekiranya kita semua menginginkan sebuah generasi terbaik, soleh dan solehah, qurrota a’yunin, maka tentu tidaklah cukup hanya mengajarinya dengan kata-kata, apalagi hanya mendidiknya dengan materi, melainkan harus dengan contoh-contoh dan keteladanan yang nyata dari orang tua. Sebuah ungkapan menyatakan’ buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ bahkan ada pula yang mengatakan, ‘jika ingin tahu bagaimana karakter seorang anak, lihat dan pelajarilah tingkah laku orang tuanya dan dengan siapa ia dibesarkan dalam lingkungannya’ untuk itu setiap orang tua wajib memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anaknya atas intervensi lingkungan yang mendegrasi moral, mengingat betapa banyak peristiwa kehidupan ternyata sangat berpotensi bagi rusaknya moralitas generasi muda kita. Lihatlah beberapa waktu ini bagaimana pergaulan bebas begitu mudahnya kita lihat persis dihadapan mata kita, bahkan alat-alat dan sarana pergaulan bebas diperjualbelikan dengan mudah dan murahnya tanpa pengawasan yang ketat apalagi dengan adanya ATM Kondom dengan alasan untuk mengurangi jumlah penderita Aids akibat perilaku seks yang tidak aman namun tidak memperdulikan penyakit sosial lainnya berupa maraknya perzinahan yang dianggapnya “aman” padahal inilah sesungguhnya pengundang adzab Allah. Kasus malam tahun baru beberapa waktu yang lalu sebagaimana yang diberitakan dalam liputan TV 7 membuktikan betapa pada malam tahun baru ditemukan penjualan kondom dibeberapa tempat khususnya di kota-kota besar seperti jakarta dan jogjakarta meningkat pesat dan lebih mengagetkan lagi ternyata pembelinya kebanyakan adalah dari kalangan anak muda. Jangan-jangan berbagai musibah dan adzab yang tidak pernah hentinya mendera bangsa ini mulai dari flu burung, peristiwa tsunami satu tahun yang lalu, serta beberapa peristiwa kemanusiaan dan bencana alam akhir-akhir ini berupa tanah longsor, banjir di beberapa daerah seperti di jalur pantura atau banjir bandang di jember dan di Banjarnegara Jawa tengah yang menelan banyak korban adalah akibat permisifnya diri kita dan bangsa ini terhadap berbagai bentuk kemungkaran dan membiarkan berbagai bentuk kemungkaran tetap berlangsung, misalnya seperti penggundulan hutan, illegal loging, pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL, kepedulian yang rendah terhadap kebersihan lingkungan dsb, yang bisa jadi kesemuanya berkontribusi mengundang datangnya adzab Allah tersebut.
Untuk itu langkah awal yang harus kita lakukan adalah dengan menjaga diri kita, keluarga kita masing-masing, lingkungan masyarakat sekitar kita, dan bangsa ini dari segala bentuk perilaku yang dapat menghancurkan masa depan generasi dan kehidupan. Kiranya kita memang perlu banyak belajar dari Ibrahim. Yaitu sebagai orang tua dan sekaligus pemimpin yang mampu melahirkan generasi dan keturunan terbaik sepanjang sejarah dan peduli terhadap masa depan kehidupan. Yang darinya pula Junjungan kita Muhammad Rasulullah bertemu nasabnya melalui garis nasab Ismail.
12
x
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillaahilhamdu.
Ma’asyiral muslimin hafidha kumullah
13
Dalam idul adha ini kita semua juga dapat belajar dari aktivitas ibadah haji yang sekarang sedang dilaksanakan oleh saudara-saudara kita jamaah haji di tanah suci baitullah. Ibadah haji sebagai risalah nabiyallah Ibrahim yang dilanjutkan oleh Rasulullah saw, mengandung banyak pelajaran yang sangat berharga yang dapat kita jadikan pelajaran. Ibadah haji tidaklah sebatas aktivitas ritual belaka, apalagi prestise diri lebih-lebih politis, tapi ibadah haji adalah aktivitas yang menggambarkan totalitas ibadah serta puncak segala pengabdian kita kepada Allah. Dalam ibadah haji tersebut kita belajar akan makna kebersihan dan kesucian diri yang disimbolkan dengan pakaian putih ihram, kesamaan derajat yang tidak membeda-bedakan status, jabatan, harta dan sebagainya, semuanya sama dihadapan Allah yang membedakan hanyalah ketaqwaannya semata yang disimbolkan saat sedang wukuf di Arofah. Dalam ibadah haji kita juga belajar tentang semangat untuk menolak segala bentuk kemungkaran (baik personal maupun sosial) yang disimbolkan dengan lemparan jumroh, dan semangat untuk berbagai yang disimbolkan dengan memotong hewan qurban serta semangat untuk menetapkan komitmen perubahan dan komitmen pada kebaikan ibadah yang kesemuanya berpusat pada satu tujuan yaitu Allah, yang disimbolkan dengan thawaf (wada’). Disaat kesemua pelajaran hikmah haji ini dapat terus dipertahankan dalam kehidupan (khususnya bagi para hujjaj/ jamaah haji) hingga kehidupan keseharian nantinya, tentulah gelar Mabrur akan diperoleh. Yaitu seorang yang merdeka, bebas dari keterikatan godaan hawa nafsu, dan menjadikan dirinya dipenuhi dengan segala kebaikan dan kebersihan diri, yang akan menjadi modal utama dia untuk menghadap Allah swt. Sebagaimana Firman Allah :
“(yaitu) pada hari (ketika) harta benda, dan anak-anak sudah tidak berguna lagi kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Q.S. Asy Syu’ara 26 : 88-89)
Akhirnya, semoga Allah swt menjadikan diri kita, keluarga kita dan lingkungan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mulia disisi-Nya. Serta memanggil diri-diri kita dengan panggilan rahmat-Nya. Dan mengumpulkannya dalam golongan orang-orang yang diberi rahmat. Amien Ya Rabbal alamien.
“Wahai jiwa yang tenang . kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaKu”. (Q.S. Al Fajr 89 : 27-30)
Allahu Akbar-Alahu Akbar, Allahu Akbar laa ilaaha illallaahu Allahu Akbar. Allahu akbar walillaahilhamdu.
adalah sebuah lembaga pelatihan yang bergerak dalam pengembangan SDM, komunikasi, motivasi dan leadership. berpengalaman melatih lebih dari 700 angkatan dengan lebih dari 200.000 peserta diseluruh Indonesia. Akh. Muwafik saleh adalah dosen ilmu komunikasi Universitas Brawijaya Malang, ahli komunikasi pelayanan publik tingkat nasional. kunjungi juga www.trainingleadership.wordpress.com
Akh. Muwafik Saleh adalah dosen ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Penulis Buku Best Seller, Trainer Nasional, Maestro Trainer Motivasi Nasional, Trainer handal bidang komunikasi, motivasi, kepemimpinan, spiritual worker. Karya buku : Bekerja dengan Hati Nurani (Penerbit PT. Erlangga Jakarta, 2009), Public Service Communication (Penerbit UMM Press, 2010), Manajemen Training (Penerbit Indina, 2010), Belajar dengan Hati Nurani (Penerbit PT.Erlangga jakarta, 2011). (Untuk lihat profil Lengkap di dokumen blog ini Bulan Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar