Jumat, 24 Oktober 2008

LEMAHNYA PRODUK LOKAL DI TENGAH GLOBALISASI DAN LIBERALISASI EKONOMI

Oleh : Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si

1. LATAR BELAKANG

Proses industrialisasi telah diusung oleh banyak negara baik maju maupun berkembang untuk memajukan bidang perekonomian mereka. Keadaan ini dipicu oleh adanya momentum revolusi industri yang kemudian menular ke berbagai cakupan wilayah lainnya. Tentu saja hal tersebut sesuai dengan tuntutan zaman dimana masyarakat sudah memiliki daya intelektualitas yang tinggi sehingga menyebabkan berbagai aspek kehidupan di dunia juga harus mengimbanginya.

Globalisasi merupakan sebuah tema besar dalam setiap pembahasan yang melibatkan semua pihak baik di tingkat internasional maupun di tingkat yang lebih nasional dan lokal. Selain itu, globalisasi juga merupakan bahasan yang sering diperdebatkan dimana konsep globalisasi bukan merupakan sebuah keadaan yang stagnan dan mutlak adanya. Prosesnya terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga pandangan semua pihak terhadap konsep globalisasi yang ditawarkan dapat berbeda satu sama lain.

Banyak pihak yang mengagungkan konsep globalisasi sebagai sebuah proses yang dapat semakin meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang tidak pernah dicapai sebelumnya bagi semua kalangan baik negara maupun non-negara. Tidak sedikit pula yang menyakinkan bahwa konsep globalisasi yang diterapkan saat ini merupakan sebuah proses yang justru telah mengakibatkan sebuah keadaan yang lebih buruk ketimbang masa-masa sebelumnya terutama dalam hal kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan.

Globalisasi juga merupakan sebuah kondisi dimana terjadi pemadatan ruang dan waktu, sehingga jarak dan waktu sudah bukan masalah lagi untuk sebuah hubungan. Kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi, transportasi dan informasi telah membawa perubahan begitu radikal dalam setiap segi kehidupan manusia. Salah satu dampaknya adalah timbulnya sebuah kesadaran bahwa manusia tidak tinggal sendirian dan bukanlah sebuah hal yang bijak untuk bertindak menurut ketentuan sendiri.

Akibatnya banyak bermunculan kelompok kerjasama baik bilateral, multilateral, regional maupun internasional seperti munculnya International Governmental Organizations (IGO’s) seperti United Nations, OIC (Organization of Islamic Countries), maupun Non-Aligned Movement. Selain itu, kelompok civil society dalam hal ini tidak mau ketinggalan, mereka banyak mendirikan NGO (Non-Governmental Organizations) yang bergeral di banyak bidang mulai dari sosial, politik, lingkungan, gender, ekonomi, budaya dan masih banyak lagi.

Adanya akses perdagangan bebas melalui kelompok kerjasama tersebut, serta peningkatan volume perdagangan merupakan dampak globalisasi, terutama kaitannya dengan sistem ekonomi liberal. Keadaan ini memungkinkan adanya proses kompetisi antara para produsen guna memasarkan produknya ke seluruh dunia.

Kompetisi para produsen tersebut tidak hanya di kalangan pedagang dunia melainkan juga antar pedagang domestik yang saling bersaing di antaranya ataupun dengan pedagang internasional. Para pedagang domestik tersebut berusaha menarik konsumen yang sepertinya sudah mulai suka bahkan fanatik dengan ”kelebihan” yang disuguhkan oleh produk-produk yang mendunia.

Keberadaan pedagang atau pengusaha lokal agaknya membawa iklim perekonomian yang agak menyejukkan disamping untuk menambah devisa yang semakin berkurang akibat pemborosan pembayaran importir, mereka mampu menyelipkan nilai-nilai kebudayaan yang setidaknya mampu menumbuhkan rasa kecintaan akan produk bahkan bangsa itu sendiri.

2. GLOBALISASI DAN PASAR BEBAS

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Proses globalisasi yang baru terjadi selama 10 tahun terakhir ini telah mengubah dunia secara total dan radikal. Walaupun begitu, benar globalisasi telah terjadi pada masa lampau, tetapi globalisasi yang sekarang tidak bisa dibandingkan dengan yang masa lampau. Tiga faktor yang membedakan: velocity, intensity, dan extensity.

Oleh karena tiga faktor ini maka globalisasi menimbulkan dampak yang jauh lebih dahsyat daripada masa sebelumnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa globalisasi telah melabrak segala sesuatu sampai lumat sehingga tidak menyisakan kebudayaan lokal dan negara-bangsa sama sekali. Hal ini berupa proses transformasi, bukan pengurangan atau penghilangan.

Globalisasi ditandai dengan masuknya hal-hal tertentu yang tentu saja membonceng sebuah kepentingan entah itu dalam hal nilai-nilai, ideologi, kekuasaan ataupun ekonomi. Salah satu yang tidak tampak boncengan kepentingannya dalam era globalisasi adalah dalam bentuk produk, dimana produk-produk tersebut bisa masuk dengan leluasa antar negara karena adanya sistem perekonomian yang bebas.

Pada era globalisasi perdagangan tidak lagi mengenal batas suatu negara, sehingga akan terjadi persaingan yang semakin tajam antara produk dalam negeri dan produk luar negeri. Globalisasi sebagai tantangan zaman menuntut adanya pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Kebebasan tersebut seakan menghapus jarak teritorial antar negara. Teknologi informasi memberikan sumbangsih cukup besar terhadap arus global yang tak hanya berpengaruh terhadap dunia perekonomian saja, tetapi akan berpengaruh pada kepentingan politik dalam negeri. Misalnya tentang pengambilan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut diantaranya: Perpres no. 36 tahun 2004 tentang kepemilikan hak tanah, UU nomor 32 tentang ketenaga kerjaan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dan baru-baru ini ramai juga dibicarakan tentang rencana kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang penanaman modal asing.

Pasar bebas memungkinkan perusahaan-perusahaan level internasional untuk memasarkan produknya ke berbagai negara. Termasuk pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Produk impor yang dipasarkan dapat beredar secara bebas ke seluruh pelosok negeri. Keberadaan produk impor telah menggeser hasil produksi dalam negeri. Padahal industri lokal pada dasarnya mampu membuat barang yang kualitasnya tidak kalah dengan perusahaan asing. Namun ternyata realita mengatakan masyarakat ternyata lebih mementingkan gengsi. Implementasi gengsi tersebut mungkin dilakukan dengan mengkonsumsi produk impor.

Globalisasi dan pasar bebas memang tak dapat dicegah. Namun akibatnya, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia. Gencarnya produk-produk impor yang menyerbu Indonesia membuat cukup membuat khawatir banyak pihak. Padahal, Indonesia harus mampu menciptakan infrastruktur yang memadai guna mengantisipasi serbuan produk-produk impor demi menjaga ketahanan ekonomi nasional.

2.1. Produk Impor dan Konsumtivisme

Gejala globalisasi yang pada saat ini sungguh tidak terelakkan. Televisi dan koran membawa berita-berita dari segala sudut dunia ke meja; bukan hanya berita perang, tapi juga berita olahraga, fashion, musik, dan sebagainya. Orang kini bisa marah, sedih, dan gembira terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ia lihat dengan mata kepala sendiri.

Sementara itu, produk-produk yang tidak bisa dibuat di tanah air, memenuhi rak-rak toko dan etalase. Mereka didatangkan dari segala penjuru dunia, dari minuman, sepatu, makanan, baju, celana, hingga mobil mewah. Produk-produk tersebut, menurut James W. Carey, tercipta atas dasar kebudayaan berdasarkan proses komunikasi sosial yang terwujud melalui produk sosial kehidupan, seperti mitos, mode, makanan, bahasa dan sebagainya. Fenomena yang terjadi saat ini adalah sebagian dari masyarakat Indonesia cenderung semakin menyukai produk-produk sosial tersebut, produk impor. Alasan masyarakat memilih produk impor selain karena alasan mutu, juga karena alasan desain dan harga jual yang sangat kompetitif.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded” yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Masuknya produk-produk impor tidak hanya dapat ditemui di mall-mall saja, bahkan trade center sampai pasar-pasar tradisional pun, produk impor misalnya dari Tiongkok, banyak memenuhi rak-rak para pedagang. Lebih hebat lagi, para pedagangnya pun ada yang langsung berasal dari Tiongkok. Hanya bisa satu-dua kata bahasa Indonesia, para pedagang dari Tiongkok itu lebih mengandalkan kalkulator untuk memberi tahu harga barang dagangannya.

Di pusat perbelanjaan, produk asal Amerika dan Eropa, juga memenuhi hampir seluruh area perdagangan yang ada. Mulai dari produk kosmetika, busana dan aksesorinya, tas, sepatu, bahkan sampai produk-produk perawatan kesehatan, seperti Gucci, Louis Vuitton, Armani, Prada, Dunhill, Zegna, Ferragamo, Tiffany & Co, Tuleh, Mulberry, Issey Miyake, Kate Spade, Escada, Cartier, Fendi, Chanel, Diesel, Chloe, Hermes, Coach, Polo, Ralph Lauren, dan masih banyak lagi nama asing. Begitu pula dengan berbagai makanan dan minuman seperti Starbucks, McDonald’s, BreadTalk dan sebagainya.

Saat ini banyak produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, mulai menggeser produk yang sama yang berasal dari industri lokal. Derasnya arus barang impor tersebut bukan hanya merupakan dampak pasar bebas, akan tetapi juga karena dipengaruhi oleh mental konsumen yang masih berbudaya ”import minded”.

Mental konsumen seperti inilah yang mengakibatkan munculnya budaya baru dimana tingkat konsumen untuk mengkonsumsi produk tertentu semakin tinggi, konsumtif. Fenomena seperti ini tidaklah mengherankan, terutama dengan menjamurnya gerai-gerai fashion karya desainer internasional dan juga berbagai jaringan ritel asing yang tumbuh subur berbarengan dengan bermunculannya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia.

Fenomena remaja yang sudah melek merek hanya salah satu contoh gaya hidup konsumtif yang menghinggapi masyarakat kita, seperti juga merayakan ulang tahun di hotel berbintang, menikmati segelas cokelat panas di kafe, atau sekadar nongkrong di mall.

Hidup hemat dan menabung tidak lagi dipahami oleh kebanyakan anak muda zaman sekarang. Pemimpin atau tokoh panutan menurunkan budaya konsumtif kepada rakyat atau audiensnya, seperti orangtua menularkan kepada anak-anaknya dengan menghujani mereka dengan barang-barang atau fasilitas mewah lain untuk menebus rasa bersalah karena tak cukup meluangkan waktu untuk anak.

Iklan yang persuasif dan berbagai strategi pemasaran agresif membuat masyarakat semakin dalam terjebak arus konsumtivisme atau kecanduan belanja yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional. Konsumtivisme sudah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia yang separuh lebih penduduknya masih miskin (diukur dari standar kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari).

Fenomena seperti ini, sebenarnya bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, termasuk negara yang (sudah) bukan komunis. Konsumtivisme adalah dampak dari globalisasi dan sistem kapitalisme modern yang mendasarkan pada tata nilai materialistis, mulai dari tingkah laku, pola pikir, hingga sikap.

Masyarakat menengah perkotaan di Indonesia, seperti juga di negara Asia lain, bahkan lebih agresif menjiplak gaya hidup konsumtif ketimbang masyarakat di negara asal budaya konsumerisme itu sendiri, Amerika. Contohnya fanatisme pada produk-produk bermerek seperti merk celana jeans Levi’s, baju Polo, tas Gucci serta sepatu olahraga Adidas, dan budaya konsumsi makanan cepat saji dimana yang paling terkenal dengan franchisenya yaitu McDonald’s.

Kalangan peritel menyebut bertumbuhannya mall-mall dengan ikon- ikon konsumerisme Barat di Indonesia sebagai strategi menjemput bola. Sebelum hadirnya mal-mal mewah ini, orang kaya Indonesia harus berburu hingga ke Singapura, Eropa, atau AS untuk mendapatkan barang-barang bermerek dari pusat-pusat mode internasional seperti Paris, London, Italia, dan New York.

Hal serupa juga terjadi untuk produk makanan, kosmetik dan toiletries (keperluan kamar mandi), perlengkapan rumah tangga dan lain-lain, dengan hadirnya jaringan ritel global seperti Carrefour, Giant, dan Wal Mart. Angka penjualan barang-barang bermerek dan juga konsumsi consumer goods (barang kebutuhan sehari-hari) lain terus melonjak dramatis dari tahun ke tahun, tidak peduli apakah perekonomian dalam kondisi sulit atau tidak.

Setiap dua dari 10 konsumen kelas menengah Indonesia yang disurvei AC Nielsen mengatakan, mereka memilih membeli produk karya desainer internasional, kendati 90 persen dari mereka menganggap barang tersebut terlalu mahal dan kualitasnya tidak istimewa. Hal tersebut membuktikan bahwa mereka membeli produk-produk itu lebih untuk status sosialnya di masyarakat.

Gaya hidup yang muncul mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi produk-produk buatan luar negri (impor) dapat menaikkan kelas sosial masyarakat. Terlepas dari kualitas, konsumenisasi produk impor menciptakan kelas baru disebut golongan elite. Golongan baru ini melalui identitas barunya, seperti yang diungkapkan Stryker (1996) “ketika posisi sosial telah terinternalisasi, maka kita akan berbicara tentang identitas itu sendiri” maka identitas mereka terinternalisasi dan ditentukan oleh struktur budaya dan sosial yang dibangun melalui interaksi sosial. Mereka merasa lebih percaya diri dengan mengkonsumsi barang yang notabene buatan impor. Produk dalam negeri atau lokal menduduki predikat yang biasa saja di mata mereka.

Kerakusan kelas menengah-atas terhadap barang-barang bermerek menunjukkan gengsi yang melekat pada produk menjadi pertimbangan penting konsumen. Merek busana meningkatkan status sosial bahkan identitas seseorang. Orang dinilai dari apa yang dipakai, dikonsumsi, atau dibeli. Dengan merek, seolah mereka ingin mengatakan, "Inilah saya".

Pada kategori consumer goods, di semester I-2006, menurut AC Nielsen, angka penjualan 51 kategori produk consumer goods meningkat 10 persen dan untuk keseluruhan 2006 naik setidaknya 15 persen. Ini angka tertinggi kedua di antara 15 negara di Asia Pasifik. Keterpurukan ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama akibat kenaikan tajam harga bahan bakar minyak pada 2005, tidak memengaruhi konsumsi barang-barang ini.

Indikator konsumsi yang lebih digerakkan oleh gaya hidup ”import minded” ini juga tercermin meningkatnya alokasi belanja konsumen untuk makanan, meningkatnya jumlah mobil, meningkatnya belanja produk consumer electronics (barang elektronik), dan bahkan juga belanja makanan anjing dan kucing. Selain itu, konsumsi minuman ringan, rokok, kosmetik, toiletries dan juga belanja untuk rekreasi. Menurut AC Nielsen, 93 persen konsumen Indonesia termasuk recreational shoppers (pembelanja rekreasi). Mereka berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi lebih untuk kesenangan.

Hasil survei AC Nielsen memang belum mencerminkan gaya hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, mengingat responden hanya yang di Indonesia jumlahnya tak sampai 8 persen dan umumnya kondisi ekonominya baik, berpendidikan, dan ada di perkotaan.

Political and Economic Risk Consultancy menggambarkan Indonesia sebagai kebalikan total dari Singapura. Meskipun memiliki angka kemiskinan tinggi, konsumsi masyarakat di Indonesia mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir.

Ketika tingkat pengangguran begitu tinggi dan kondisi keuangan negara yang kritis, impor barang dari luar negeri malah meningkat sehingga begitu banyak devisa negara yang terkuras dan mengalir ke luar negeri. Barang-barang impor begitu merajai pasar retail dan grosir sehingga barang produksi dalam negeri malah tidak punya tempat di negeri sendiri karena kalah bersaing.

Jika dicermati, bisnis-bisnis yang prospeknya bagus beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah juga bisnis yang terkait dengan konsumsi. Selain properti, mal-mal atau pusat perbelanjaan, masuknya investasi asing seperti akuisisi perusahaan rokok HM Sampoerna oleh Philip Morris International juga karena konsumsi terkait gaya hidup. Budaya konsumtif ini mengimplikasikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik. Akibatnya, industri dalam negeri yang hanya memiliki sedikit modal dan minim kemampuan sumber daya manusia maupun alamnya banyak yang gulung tikar dan menambah jumlah pengangguran.

Sebagai sebuah proses dan perkembangan, globalisasi yang ditawarkan saat ini ternyata memiliki keburukan-keburukan yang tidak kalah besar dan pentingnya dengan peranan yang telah dihasilkan dalam proses globalisasi. Kita dapat saja menilai bahwa globalisasi telah mengangkat tingkat kesejahteraan ekonomi di dunia yang pernah dicapai oleh sistem sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa globalisasi telah menyebabkan kemiskinan yang belum pernah dicapai oleh sistem sebelumnya.

Selain itu, saat ini telah terjadi ketimpangan yang sangat signifikan baik dalam level individu, kelompok, maupun negara. Konsep kapitalisme ekonomi, merupakan sebuah sistem yang hanya dapat berjalan di tengah kesengsaraan orang lain. Kompetisi yang merupakan jiwa kebebasan yang diusung oleh kapitalisme tidak disertai penilaian terhadap kadar kemampuan. Mengenai konsep tersebut negara-negara miskin sadar bahwa mereka memiliki kapabilitas dan sumber daya yang terbatas sehingga mereka yakin bahwa produk-produk mereka akan dilumat oleh produk-produk dari negara-negara industri besar jika produk tersebut dibiarkan bebas masuk ke pasar domestik.

Di sisi lain, jika ingin lebih jeli, globalisasi dalam prosesnya juga telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak pernah terbayangkan dan sudah terjadi sebesar ini sebelumnya. Kerusakan hutan, habitat satwa liar dan langka, serta ekosistem yang mendukungnya telah tergerus oleh kepentingan-kepentingan korporasi kapitalis. Ketimpangan global terjadi dalam dua isu ini yakni ekonomi dan lingkungan.

Negara-negara miskin telah dipaksa oleh negara-negara industri besar untuk menandatangani kesepakatan pembukaan pasar bagi produk-produk impor dengan dalih bahwa pembukaan pasar tersebut akan meningkatkan perekonomian negara yang bersangkutan dan tentunya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah pembukaan pasar hanya akan meningktakan kesejahteraan kelompok-kelompok ekonomi asing dan segelintir kelompok domestik di negara tersebut.

Kelompok lainnya hanya akan termangu melihat setumpuk produk-produk asing yang mengisi mall-mall dan departement store tanpa sanggup membelinya karena daya beli mereka yang rendah. Padahal, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili oleh Uni Eropa, masih melakukan sebuah tindakan perlindungan terhadap produk-produk lokalnya terutama pertanian yang mereka nilai masih dinilai kurang stabil terhadap intervensi produk-produk asing.

Kekhawatiran lain akan adanya globalisasi yang menyebabkan gejala konsumtivisme ini lebih karena alasan bahwa konsumtivisme yang berlebihan cenderung menghancurkan nilai-nilai luhur budaya lokal, lunturnya identitas bangsa dan kesetiakawanan sosial, hancurnya industri nasional serta hancurnya lingkungan. Kekhawatiran itu beralasan karena konsumtivisme sudah seperti virus ganas, yang tidak saja menghinggapi kaum kaya di perkotaan, tapi juga mereka yang sehari-hari sebenarnya masih berkutat dengan masalah perut.

2.2. Lunturnya Kecintaan Terhadap Produksi Lokal

Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Berbagai hal yang memang bisa didapat dari sebuah kata dan prose globalisasi yang jalurnya bisa melalui berbagai lajur. Alih-alih memberi manfaat bagi masyarakat di negara berkembang, globalisasi justru mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya.

Salah satu kendalanya adalah lagi-lagi soal merk, dimana merk-merk yang dikenal saat ini adalah merk-merk yang berbau barat dengan segala bentuk strategi pemasarannya. Hal tersebut pulalah yang sekiranya membuat pasar domestik sedikit sepi, yaitu produsen kurang memberikan kebutuhan informasi mengenai produknya sehingga masyarakat pun belum optimal mendapatkan informasi yang memuaskan tentang produk dalam negeri, di samping faktor harga dan mutu, walaupun teknologi informasi sudah semakin canggih.

Sebagai respons dari gelombang globalisasi yang merugikan tadi, dewasa ini muncul gerakan atau kesadaran untuk "menolak" globalisasi dengan mengukuhkan tradisi atau potensi lokal. Di Bantul, Yogyakarta, misalnya, telah diluncurkan kebijakan baru yang diberi nama "Amanat Perjuangan Rakyat Bantul". Salah satu komitmennya adalah penggunaan bahasa Jawa dalam proses pelayanan publik setiap tanggal 20 setiap bulannya.

Masih di kawasan Yogya, ada upaya unik mempromosikan lokalism, yakni masuknya tiwul dalam food-industry modern yang dikelola oleh Indofood. Sementara itu di tataran internasional, "penolakan" terhadap globalisasi juga gencar dilakukan, termasuk tidak mau menggunakan produk-produk IT dari Microsoft, atau juga minuman kemasan yang banyak tersebar di pasaran. Nyatanya, orang-orang yang menolak produk global juga bisa eksis sebagaimana orang lain yang globalized (Kompas, 20/1/04).

Bentuk-bentuk penolakan seperti ini tidak hanya dengan maksud untuk mempertahankan perekonomian melalui pengembangan produk lokal, melainkan juga sebagai salah satu cara dalam rangka mempertahankan kebudayaan lokal yang semakin lama semakin terkikis. Ia telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia mana pun, dan merobohkan dinding-dinding batas antarnegara. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

2.3.Serbuan Produk Impor Berlisesnsi

Produk impor yang masuk ke Indonesia melalui pasar bebas semakin banyak, semakin bebas berkeliaran di toko – toko dan mal – mal di seluruh Indonesia, berbaur dengan produk impor berlisensi yang sebelumnya lebih dahulu berkecimpung di dunia marketing nusantara. Sebagian besar merek yang kita kenal di barang – barang elektronik, produk kecantikan, makanan dan minuman, perabotan rumah tangga, tempat makan, kendaraan, bahkan majalah yang sehari – hari kita baca pun merupakan produk impor berlisesnsi. Produk – produk yang banyak masuk ke Indonesia rata – rata dari Amerika, Taiwan, Jepang, dan yang paling dikenal adalah dari Cina

Masyarakat lebih memilih produk import yang berlisensi karena kualitas produk yang sekiranya telah dikenal di nasional maupun internasional. Hanya dengan melihat mereknya saja, mereka yakin bahwa merek tersebut terjamin kualitasnya. Misalnya alat elektronik buatan Jepang sudah pasti lebih bagus atau bahan makanan dan obat - obatan lebih percaya produksi atau merek – merek dari Cina yang mereka percaya sudah pasti lebih terjamin. Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi hal-hal tersebut, yang dimaksud untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Purnama, 2002). Merek bukanlah sekedar simbol, merek adalah janji penjual yang konsisten, merek akan memberikan ciri manfaat dan kelebihan- kelebihan suatu produk kepada pembeli. Merek sebenarnya mempunyai 6 tingkat pengertian, yaitu :

1. Atribut

Atribut-atribut yang mengingatkan pada merek-merek tertentu. Mercedez menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya.

2. Manfaat

Pembeli membeli produk, berarti membeli manfaat yang baik manfaat fungsional atau manfaat emosional. Misalnya atribut mahal mungkin diterjemahkan menjadi manfaat emosional, mobil ini membuat saya merasa penting dan dihargai.

3. Nilai

Nilai yang dibentuk oleh produsen. Jadi Mercedez berarti kenerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya.

4. Budaya

Merek dapat mewakili budaya tertentu. Mercedez mewakili budaya Jerman yakni terorganisir, efisien, berkualitas tingi.

5. Kepribadian

Merek dapat mencerminkan sebuah kepribadian seseorang yang sesuai dengan dorongan naluri, perasaan dan pengetahuannya.

6. Pemakai

Merek dapat menunjukan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan merek tersebut. Pemakai Mercedez, misalnya, diasosiasikan dengaan seorang manajer puncak.

Produk – produk berlisensi dan franchise yang bebas berkeliaran ini ada akhirnya hanya akan mempengaruhi tingkat konsumerisme dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat di mana MTV telah menjadi gaya hidup, McDonalds telah menjadi halte pemberhentian setiap orang untuk mengisi perut kosong dengan salad, kentang, dan sepotong sandwich, dan shoping malls telah sedemikian menjamur menggilas pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil pinggiran jalan, imagology telah menjadi ideologi gaya hidup yang diam-diam dianut semua orang.

3. KESIMPULAN

Globalisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah proses yang tunggal dan niscaya (inevitable), namun lebih harus dipandang sebagai sebuah proses yang harus dikritisi dalam perkembangannya. Globalisasi memiliki sisi baik dan buruk yang berdampak besar terhadap seluruh kehidupan manusia di dunia karena ruang lingkupnya yang luas. Oleh karena itulah, yang terpenting sekarang bukanlah mengambil secara mentah atau menolak konsep globalisasi yang ditawarkan, namun lebih kepada bagaimana globalisasi ini dapat dikendalikan menjadi sebuah proses yang lebih berkeadilan global.

Munculnya berbagai produk import di Indonesia memang memiliki banyak dampak positif maupun negatif di dalamnya. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah masyarakat Indonesia harus lebih dapat mengendalikan diri dan mentalnya agar tidak terlalu tergiur pada “kelebihan” yang ditawarkan produk import tersebut, namun juga dapat melihat secara seksama kualitas dari produk import yang ditawarkan itu sendiri dengan mengkonsumsi barang atau produk yang disesuaikan dengan pada kebutuhan mereka. Dengan demikian mereka tidak akan menjadi masyarakat yang konsumtif dan berbudaya “import minded”, melainkan menjadi masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap produk dalam negeri mereka sendiri.

Kamis, 07 Agustus 2008

contoh artikel jurnal

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENGHADAPI KRISIS

(STUDI KASUS PADA KLUB BUNGA BUTIK RESORT

DALAM MENGHADAPI ANCAMAN KRISIS YANG MUNCUL

SEBAGAI DAMPAK TIDAK LANGSUNG

DARI PERISTIWA MELUAPNYA LUMPUR LAPINDO

DI PORONG, SIDOARJO)

Akh. Muwafik Saleh 1) , Dhany Rachmat Mulia 2), Francelina Mayta Kusumaningrum 3)

ABSTRAK

Krisis merupakan titik balik (turning point) bagi perusahaan untuk menjadi lebih atau lebih buruk, tergantung bagaimana krisis tersebut dapat diselesaikan. Sejauh ini public relations yang bekerjasama dengan marketing Klub Bunga Butik Resort merasa cukup dengan adanya pencitraan perusahaan yang positif dan perluasan pasar yang dilakukan oleh marketing. Sikap ini tentu dapat menjadi bumerang bagi perusahaan karena cara tersebut hanya dapat mengatasi masalah penurunan tingkat hunian tanpa menyelesaikan masalah pergeseran segmentasi pengunjung. Pergeseran segmen ini dinyatakan sebagai indikasi krisis karena sejak awal berdirinya Klub Bunga Butik Resort ditujukan bagi pengunjung yang datang dengan tujuan rekreasi, kini didominasi oleh pengunjung yang datang dengan keperluan convention. Kondisi ini tentu saja dapat membawa perubahan yang cukup signifikan bagi perusahaan karena terjadi penyimpangan tujuan awal perusahaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi public relations Klub Bunga Butik Resort dalam menghadapi situasi krisis yang muncul sebagai dampak tidak langsung dari peristiwa meluapnya lumpur Lapindo, serta menganalisisnya dengan menggunakan konsep-konsep public relations, yakni konsep manajemen krisis menurut Steven Fink dan konsep manajemen strategis public relations menurut James E. Grunig. Dari hasil penelitian diketahui bahwa situasi krisis yang dihadapi oleh Klub Bunga Butik Resort berada pada tahap awal krisis dimana indikasi krisis tersebut tidak hanya tampak dari penurunan tingkat hunian, melainkan juga adanya pergeseran segmentasi pengunjung.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa public relations Klub Bunga Butik Resort belum memiliki strategi khusus dalam menghadapi ancaman krisis. Public relations Klub Bunga Butik Resort dalam hal ini dapat menggunakan rancangan program komunikasi berdasarkan konsep manajemen strategis public relations menurut James E. Grunig untuk menarik pengunjung yang datang dengan tujuan rekreasi. Program ini dimaksudkan untuk mengembalikan segmentasi pengunjung agar perusahaan tidak terlalu jauh menyimpang dari tujuan awal yang dinyatakan dalam visi misi perusahaan. Implementasi dari strategi public relations yang dirancang dengan baik ini diharapkan dapat mencegah situasi krisis agar tidak bergeser ke tahap yang lebih akut.

Kata Kunci: Strategi Public Relations, Manajemen Krisis, Segmentasi Pelanggan, Dampak Lumpur Lapindo, Pariwisata.

ABSTRACT

Crisis is the turning point for the company to be better or worse, it depends on how the company can face the crisis. In Klub Bunga Butik Resort, Public Relation Department which cooperates with Marketing Department has created positive image of the company and the Marketing Department has also expanded the market segmentation. Both of those achievements can solve one problem only, that is the decrease of occupancy. Those cannot solve the decrease of customers’ segmentation that becomes a crisis indication. The crisis indication showed a transition of customers’ segmentation from customers with tourism goal to customers with convention need. This significant transition made the company deviate from beginning goal of the company.

The goal of this research is to know the Klub Bunga Butik Resort’s public relation strategic in facing the crisis situation as an indirect effect of the flowing Lapindo mud event. The analysis based on crisis management concept of Steven Fink and public relation strategic management concept of James E. Grunig. From the result of interviewing, obeserving, and collecting secundary data which were documentations, it showed that Klub Bunga Butik Resort faced crisis situation in a beginning crisis stage where the indications were showed not only from the decrease of occupancy, but also from the decrease of customers’ segmentation.

The result of this research showed that Public Relation Department of Klub Bunga Butik Resort has not had a specific strategic to face the crisis threat. Public Relation Department of Klub Bunga Butik Resort should arrange a communication programme plan based on Public Relation Strategic Concept of James E. Grunig in order to attract the customers’ visitation that has tourism goal. This programme can be applied to return the customers’ segmentation so that the company will not deviate from the company’s beginning goal which has been stated in the company’s vision and mission. The implementation of Public Relation Strategic which is planned well can prevent a movement of the crisis situation from beginning stage to more serious stage.

Keywords : Public Relation Strategic, Crisis Management, Customer’s Segmentation, The Impact of Lapindo Mud, Tourism.


PENDAHULUAN

Kebocoran gas dan luapan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 silam bermula dari kebocoran pipa gas milik PT Lapindo Brantas di lokasi pengeboran Sumur Banjarpanji-1, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Luapan lumpur ini mengakibatkan tergenangnya sejumlah pemukiman warga, fasilitas umum (jalan, sekolah, tempat ibadah) dan pabrik-pabrik di sekitar sumber luapan.[1]

Luapan lumpur Lapindo juga mengakibatkan ruas jalan tol Gempol ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan dan menjadikan Jalan Raya Porong sebagai urat nadi perekonomian Jawa Timur. Sebagai jalur utama, kondisi Jalan Raya Porong terbilang tidak layak baik dari segi fisik maupun kapasitasnya, sehingga seringkali terjadi kemacetan yang parah.[2] Penutupan akses jalan tol dan terhambatnya jalur utama yang menghubungkan Surabaya dan beberapa daerah di Jawa Timur ini membawa pengaruh terhadap aspek ekonomi di Jatim. Tingkat hunian hotel menurut PHRI Pasuruan juga telah mengalami penurunan sampai 40 persen. Tingkat kunjungan wisata dan hunian hotel di daerah Malang Raya dilaporkan juga mengalami penurunan karena kurang lancarnya arus lalu-lintas dari dan ke Malang. Sektor perhotelan dan restoran di Batu yang menyumbang PDRB kota Batu sebesar 30 persen juga terganggu aktivitas pariwisatanya.[3]

Seperti yang dimuat dalam website TEMPO pada 9 Mei 2007, dituliskan bahwa kalangan pengusaha jasa pariwisata di Kota Batu, Jawa Timur, mengeluhkan penurunan pelanggan sepanjang tahun 2006-2007. Berdasarkan analisa internal para pengusaha, penyebab penurunan pelanggan adalah luberan lumpur Lapindo di Sidoarjo.[4] Hal ini ditegaskan dengan pernyataan dari ketua PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) Kota Batu, Heru Suprapto, melalui ANTARA, menyatakan bahwa sejak adanya luapan lumpur Lapindo yang sempat menutup akses transportasi dan jalan dari arah Surabaya ke Malang Raya, tingkat hunian hotel di Kota Batu berkurang hingga 70 persen, dan rata-rata setiap hotelnya hanya 20 persen.[5]

Penulis melihat permasalahan mengenai terhambatnya akses jalan Surabaya-Malang ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu dampak dari meluapnya lumpur panas PT. Lapindo Brantas telah menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat Jawa Timur, masalah ini berpotensi untuk menimbulkan krisis bagi pihak lain yang secara tidak langsung terlibat sebagai salah satu publik yang berada dalam lingkungan krisis PT. Lapindo Brantas.

Meskipun akses jalan yang menghubungkan Surabaya-Malang masih dapat dilalui dan masyarakat ‘mulai terbiasa’ dengan kemacetan yang terjadi di jalur utama Surabaya-Malang, volume lumpur yang setiap hari terus bertambah tetap berpotensi untuk benar-benar memutus akses jalan darat apabila kondisi infrastruktur tidak segera dibenahi. Selain itu juga dampak psikologis yakni keengganan warga untuk melalui akses jalan tersebut juga perlu untuk diperhatikan karena berdampak pada antusiasme masyarakat untuk datang ke wilayah Jawa Timur sebelah selatan. Ancaman terputusnya akses jalan dan psikologis masyarakat yang enggan untuk datang menjadi poin penting yang perlu diperhatikan oleh para pelaku bisnis khususnya di bidang pariwisata yang mengandalkan antusiasme dari publiknya untuk datang berkunjung. Dalam mengatasi hal ini, peranan seorang public relations (PR) menjadi mutlak diperlukan untuk menjaga dan membina hubungan baik antara perusahaan dengan publiknya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi public relations Klub Bunga Butik Resort dalam menghadapi ancaman krisis yang muncul sebagai dampak tidak langsung dari peristiwa meluapnya lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada beberapa persoalan antara lain :

1. Dampak dari peristiwa meluapnya lumpur Lapindo

Penelitian ini fokus pada dampak tidak langsung dari peristiwa meluapnya lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo yang berpotensi krisis bagi Klub Bunga Butik Resort.

2. Manajemen Krisis

Dalam pembahasan mengenai manajemen krisis, fokus dari penelitian ini adalah pada identifikasi dan klasifikasi krisis untuk memahami mengenai karakteristik krisis yang dihadapi Klub Bunga Butik Resort.

3. Manajemen Strategis Public Relations

Setelah memahami karakter krisis yang dihadapi, penelitian difokuskan pada pembahasan mengenai manajemen strategis public relations Klub Bunga Butik Resort dalam menghadapi krisis yang mengancam perusahaan.

KAJIAN PUSTAKA

Soemirat dan Ardianto[6] menyatakan, konsep public relations adalah untuk memahami dan mengevaluasi berbagai opini publik atau isu publik yang berkembang terhadap suatu organisasi/perusahaan. Dalam kegiatannya public relations memberi masukan dan nasihat terhadap berbagai kebijakan manajemen yang berhubungan dengan opini atau isu publik yang tengah berkembang. Dalam pelaksanaannya, public relations menggunakan komunikasi untuk memberitahu, mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku publik sasarannya. Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan public relations pada intinya adalah good image (citra yang baik), goodwill (itikad baik), mutual understanding (saling pengertian), mutual confidence (saling mempercayai), mutual appreciation (saling menghargai), dan tolerance (toleransi).

Salah satu tugas public relations adalah mencegah terjadinya ledakan krisis. Penemuan fakta terus menerus tentang adanya suatu masalah saat permasalahan tersebut masih kecil akan bisa segera melakukan langkah korektif dan komunikasi yang efektif sebelum masalah tersebut menjadi isu yang besar.[7] Krisis merupakan suatu turning point for better for worse (titik balik untuk makin baik atau makin buruk). Dapat juga dikatakan bahwa krisis adalah suatu waktu yang krusial, atau momen yang menentukan (decisive moment). Suatu turning point yang diselesaikan dengan baik akan melahirkan kemenangan (for better), dan bila gagal akan menimbulkan korban (for worse). Oleh karena itu perlu diketahui bahwa krisis tidak timbul begitu saja. Sebelum krisis mencapai turning point, krisis pasti akan memberi tanda-tanda.[8] Steven Fink[9] membedakan situasi krisis menjadi : (1) masa prekrisis (prodromal crisis stage), (2) masa krisis akut (acute crisis stage), (3) masa krisis kronis (chronic crisis stage), (4) masa resolusi krisis (crisis resolution stage). Pada tahap prodomal hadir tanda-tanda, pada tahap akut terjadi kerusakan (damage), pada tahap kronik krisis akan berlanjut yang lebih parah, dan pada tahap pengakhiran krisis berakhir/teratasi.

Dalam mengatasi krisis, seorang public relations perlu mengidentifikasi krisis untuk kemudian menyusun strategi public relations dalam mengatasi krisis tersebut. Kata strategi sendiri berkaitan dengan kemampuan perusahaan atau organisasi dalam menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau dari luar. Apabila dapat menghadapi tekanan perusahaan akan hidup terus, namun apabila tidak dapat menghadapi tekanan yang datang tersebut, perusahaan mungkin saja akan mengalami kebangkrutan.[10]

Konsep manajemen strategis lebih merepresentasikan pendekatan sistem terbuka terhadap public relations. Sistem terbuka ini merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap dan beradaptasi untuk mengakomodasi variasi environmental. Model sistem terbuka ini menggunakan pendekatan simetris dua arah yang berarti bahwa komunikasi bersifat dua arah dan bahwa pertukaran informasi menyebabkan perubahan di dalam hubungan antara organisasi dengan publiknya. Jadi, organisasi yang menggunakan public relations sistem terbuka akan mempertahankan hubungan mereka dengan menyesuaikan dan mengadaptasikan diri dan publiknya dengan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang terus mengalami perubahan. Model sistem terbuka dengan komunikasi dua arah yang terjadi di dalamnya ini dikemukakan oleh Grunig bersaudara.[11] James E. Grunig dan Fred Repper dalam Kasali[12], juga mengemukakan model strategic management dalam kegiatan public relations melalui tujuh tahapan, di mana tiga tahapan pertama mempunyai cakupan luas sehingga lebih bersifat analisis, yakni: tahap stakeholders, tahap publik, dan tahap isu. Empat langkah selanjutnya merupakan penjabaran dari tiga tahap pertama yang diterapkan pada unsur yang berbeda-beda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ancaman Krisis yang Muncul Sebagai Dampak Tidak Langsung dari Peristiwa Meluapnya Lumpur Lapindo

Dalam kurun waktu dua tahun semenjak terjadinya peristiwa meluapnya lumpur Lapindo, tepatnya sejak 29 Mei 2006, dampak yang cukup signifikan dirasakan oleh berbagai pihak, baik yang terkait secara langsung maupun tidak. Salah satu dampak yang membawa pengaruh yang luas adalah kerusakan infrastruktur yang menjadi jalur utama yang menghubungkan Surabaya dengan kota-kota lain di selatan Jawa Timur. Kerusakan infrastruktur ini mengakibatkan ditutupnya jalan tol Gempol akibat tergenang lumpur dan kemacetan yang hampir selalu terjadi di sepanjang Jalan Raya Porong karena lebar jalan yang tidak sebanding dengan volume kendaraan yang melintas. Terganggunya akses jalan akibat kondisi infrastruktur yang tidak layak serta ancaman luapan lumpur Lapindo yang sewaktu-waktu mungkin saja dapat memutus akses jalan Surabaya-Malang melalui Porong ini, menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk menempuh perjalanan Surabaya-Malang atau ke daerah lain di selatan Jawa Timur melalui akses jalan tersebut. Kondisi ini menimbulkan permasalahan bagi industri pariwisata dan perhotelan yang berada di daerah selatan Jawa Timur termasuk Klub Bunga Butik Resort karena terjadi penurunan tingkat hunian semenjak terjadinya peristiwa tersebut. Luasnya dampak dari peristiwa meluapnya lumpur Lapindo ini tidak dapat diprediksi mengingat lumpur yang masih terus meluap hingga saat ini. Kejadian yang tidak dapat diduga ini merupakan indikasi adanya situasi krisis yang mana apabila perusahaan tidak mampu peka terhadap sinyal peringatan akan adanya krisis, maka situasi krisis tersebut dapat berubah menjadi krisis yang sesungguhnya. Oleh karena itu, perlu adanya peran serta public relations dalam menghadapi ancaman krisis yang muncul sebagai dampak tidak langsung dari peristiwa meluapnya lumpur Lapindo ini.

2. Manajemen Krisis

Berdasarkan teori mengenai lingkungan organisasi dalam sebuah krisis[13], dapat diketahui bahwa Klub Bunga Butik Resort merupakan publik yang tidak terlibat sama sekali dengan organisasi (PT. Lapindo Brantas Inc.), namun pada akhirnya menjadi publik yang terkait karena terkena imbas dari krisis yang terjadi. Posisi Klub Bunga Butik Resort ini berada pada environmental nimbus yang merupakan lingkungan terluar dari organisasi yang mengalami krisis (PT. Lapindo Brantas Inc.).

Public relations Klub Bunga Butik Resort menyatakan bahwa indikasi adanya krisis yang mengancam perusahaan tidak hanya tampak dari adanya penurunan tingkat hunian, melainkan juga dari penurunan segmentasi pengunjung. Indentifikasi akan adanya situasi krisis ini dilakukan dengan baik oleh public relations Klub Bunga Butik Resort melalui penelusuran data perusahaan dan riset informal yang dilakukan di lapangan. Dari hasil riset informal yang dilakukan, diketahui alasan yang mendasari adanya penurunan jumlah pengunjung ke Klub Bunga Butik Resort, yakni adanya keengganan dalam melakukan perjalanan Surabaya-Malang karena kondisi jalan yang tidak nyaman dan adanya kekhawatiran akan jebolnya tanggul penahan mengingat sempat beberapa kali terjadi jebolnya tanggul sehingga lumpur meluber dan menggenangi jalan. Perasaan enggan ini membawa pengaruh terhadap menurunnya segmentasi pelanggan Klub Bunga Butik Resort yang sebelumya didominasi oleh pengunjung yang datang dengan keperluan rekreasi (tamu reguler), kini didominasi oleh pengunjung yang datang dengan keperluan conventions (tamu group).

Jika dilihat dari segi marketing, penurunan segmen pengunjung ini tentu membawa pengaruh pada penurunan pemasukan bagi perusahaan karena harga untuk tamu group jauh lebih murah dengan harga yang ditawarkan untuk tamu reguler. Sedangkan jika dilihat dari segi public relations yang notabene tidak terlalu memperhitungkan untung-rugi perusahaan dari segi financial, lebih melihat pada adanya ketidaksesuaian antara tujuan awal didirikannya perusahaan dengan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Adapun tujuan awal berdirinya Klub Bunga Butik Resort ini adalah ingin mewujudkan kota Batu sebagai daerah tujuan wisata sekaligus mendukung program pemerintah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber devisa yang bisa diandalkan. Tujuan ini kemudian dirumuskan dalam visi dan misi perusahaan, dimana visinya adalah menjadikan Klub Bunga Butik Resort sebagai tempat tujuan wisata yang lengkap dengan segala fasilitas, makanan, dan udara yang segar; dan misinya adalah menjadi hotel terbaik di Batu, Malang, dan Jawa Timur dari segi pelayanan dan fasilitasnya. Berdasarkan tujuan dan visi-misi perusahaan tersebut, pergeseran segmentasi pengunjung perlu untuk diperhatikan lebih lanjut karena hal ini dapat mengganggu tercapainya cita-cita perusahaan.

Berikut ini adalah data-data empiris yang membuktikan adanya permasalahan yang dihadapi oleh Klub Bunga Butik Resort:

Tabel 4.1 Tingkat Hunian Klub Bunga Butik Resort

Bulan

2005

2006

2007

Januari

59.74%

60.24 %

71.06 %

Februari

50.27%

50.77 %

45.94 %

Maret

48.20%

48.70 %

66.23 %

April

51.04%

53.17 %

39.82 %

Mei

49.01%

49.51 %

56.07 %

Juni

75.72%

66.22 %

79.94 %

Juli

75.76%

73.26 %

71.47 %

Agustus

61.87%

58.76 %

55.72 %

September

47.62%

44.50 %

41.22 %

Oktober

43.37%

38.94 %

54.67 %

November

52.30%

48.80 %

60.05 %

Desember

76.93%

71.43 %

81.64 %

Total

691.83 %

664.30 %

723.83 %

Rata2/ th

57.65 %

55.36 %

60.32 %

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat hunian pada pertengahan hingga akhir tahun 2006. Penurunan tingkat hunian ini terjadi semenjak terhambatnya akses jalan Surabaya-Malang akibat peristiwa meluapnya lumpur Lapindo, yang terjadi sejak 29 Mei 2006 silam. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 2007 kondisi ini berangsur pulih, dan tampak adanya kenaikan tingkat hunian dari sebelumnya.

Tabel 4.2 City of Origin Pengunjung Klub Bunga Butik Resort tahun

No

City of Origin

2005

pax

%

1

Surabaya

14734

40.51%

2

Malang/Batu

7630

20.98%

3

Jakarta

3742

10.29%

4

Sidoarjo

2058

5.66%

5

Gresik

1515

4.17%

6

Pasuruan

642

1.76%

7

Probolinggo

494

1.36%

8

Jember

450

1.24%

9

Mojokerto

444

1.22%

10

Solo/Surakarta

392

1.08%

11

Lain-lain

4173

11.47%

Total

36374

100%

No

City of Origin

2006

pax

%

1

Surabaya

13337

39.61%

2

Malang/Batu

7250

21.53%

3

Jakarta

3577

10.62%

4

Gresik

1882

5.59%

5

Sidoarjo

1401

4.16%

6

Pasuruan

590

1.75%

7

Probolinggo

474

1.41%

8

Jember

434

1.29%

9

Mojokerto

425

1.26%

10

Kediri

340

1.01%

11

Lain-lain

3965

11.77%

Total

33675

100%

No

City of Origin

2007

pax

%

1

Surabaya

15056

40.61%

2

Malang/Batu

8273

22.31%

3

Jakarta

3020

8.14%

4

Sidoarjo

2410

6.50%

5

Gresik

1102

2.97%

6

Pasuruan

753

2.03%

7

Solo/Surakarta

620

1.67%

8

Jember

559

1.51%

9

Mojokerto

463

1.25%

10

Probolinggo

453

1.22%

11

Lain-lain

4370

11.79%

Total

37079

100%






Tabel 4.3 Perbandingan Segmentasi Pengunjung Klub Bunga Butik Resort antara Pleasure (P) dan Convention (C)

Bulan

2005

2006

2007

P

C

P

C

P

C

Januari

42.37%

57.63%

31.78%

68.22%

26.48%

73.52%

Februari

28.11%

71.89%

21.08%

78.92%

17.57%

82.43%

Maret

35.41%

64.59%

26.56%

73.44%

22.13%

77.87%

April

73.55%

26.45%

55.16%

44.84%

45.97%

54.03%

Mei

53.86%

46.14%

40.39%

59.61%

33.66%

66.34%

Juni

57.14%

42.86%

42.85%

57.15%

35.71%

64.29%

Juli

64.30%

35.70%

48.23%

51.77%

40.19%

59.81%

Agustus

46.21%

53.79%

34.66%

65.34%

28.88%

71.12%

September

47.18%

52.82%

35.39%

64.61%

29.49%

70.51%

Oktober

83.66%

16.34%

76.69%

23.31%

69.72%

30.28%

November

25.62%

74.38%

19.21%

80.79%

16.01%

83.99%

Desember

82.48%

17.52%

61.86%

38.14%

51.55%

48.45%

Total

639.89%

560.11%

493.86%

706.14%

417.36%

782.64%

Rata2/th

53.32%

46.68%

41.16%

58.85%

34.78%

65.22%










Menurut kacamata public relations, setiap permasalahan berpotensi krisis. Demikian pula dengan permasalahan yang dihadapi oleh Klub Bunga Butik Resort, berdasarkan konsep manajemen krisis menurut Steven Fink[14] dapat dikatakan telah memasuki tahap awal situasi krisis, dimana penurunan tingkat hunian dan segmentasi pengunjung merupakan indikasi awal terjadinya krisis atau yang seringkali disebut sebagai sinyal peringatan akan adanya bahaya krisis yang mengancam. Situasi krisis yang dihadapi oleh Klub Bunga Butik Resort ini berawal dari kondisi lingkungan, yakni masalah meluapnya lumpur Lapindo, yang hingga kini belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Hal ini tentu juga membawa pengaruh terhadap lamanya penyelesaian suatu masalah dan seberapa besar ancaman yang ada. Selama solusi untuk menyelesaikan permasalahan akses jalan Surabaya-Malang ini belum dapat direalisasikan, maka ancaman krisis Klub Bunga Butik Resort yakni kehilangan pelanggan yang berasal dari daerah Surabaya dan sekitarnya yang dapat mempengaruhi kestabilan perusahaan akan tetap ada. Untuk itulah perlu adanya strategi public relations yang khusus diperuntukkan untuk mencegah terjadinya ledakan krisis atau bergesernya situasi krisis yang saat ini berada pada tahap paling awal (prodromal stage/tahap pre-krisis) menuju ke tahap yang lebih akut.

3. Strategi Public Relations Dalam Menghadapi Ancaman Krisis yang Muncul Sebagai Dampak Tidak Langsung dari Peristiwa Meluapnya Lumpur Lapindo

Dalam menanggapi ancaman krisis ini, pihak Klub Bunga Butik Resort sejauh ini belum memiliki strategi khusus untuk mengatasi permasalah yang sedang dihadapi perusahaan. Hal ini dikarenakan manajemen beranggapan bahwa melalui perluasan pasar dan peningkatan citra perusahaan di mata publik sejauh ini permasalahan yang terjadi sudah dapat diatasi. Melalui cara tersebut memang masalah penurunan tingkat hunian dapat diatasi terbukti dengan adanya peningkatan setelah terjadi penurunan tingkat hunian selama enam bulan pertama semenjak terjadinya peristiwa meluapnya lumpur Lapindo. Namun demikian, peneliti melihat bahwa masalah ini belum diselesaikan dengan tuntas oleh perusahaan karena segmentasi pasar masih terus mengalami penurunan.

Untuk menghadapi situasi krisis yang dapat mengancam perusahaan jika sewaktu-waktu terjadi ledakan krisis ke tahap yang lebih akut, public relations sebagai bagian dari manajemen yang berfungsi untuk mencegah terjadinya krisis perlu untuk merancang strategi public relations yang ditujukan khusus untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan menggunakan konsep manajemen strategis pulic relations menurut James E. Grunig[15], public relations dapat memahami situasi perusahaan dan merumuskan langkah strategis yang disesuaikan dengan situasi tersebut. Berdasarkan analisis lingkungan yang telah dilakukan oleh peneliti, Klub Bunga Butik Resort pada dasarnya memiliki potensi untuk menarik pengunjung untuk datang dengan keperluan rekreasi, namun belum ada usaha yang optimal dari manajemen. Sebagai salah satu alternatif strategi yang dapat dipilih adalah sosialisasi jalur alternatif menuju kota Batu tanpa harus melalui Porong, yakni melalui Mojokerto-Jombang-Pare-Pujon-Batu. Strategi ini pada dasarnya telah dilakukan oleh Klub Bunga Butik Resort, hanya saja pengemasannya kurang maksimal sehingga pesan yang disampaikan kurang efektif.

simpulan

Peristiwa meluapnya lumpur Lapindo, yang terjadi sejak 29 Mei 2006 silam membawa dampak bagi industri pariwisata. Klub Bunga Butik Resor sebagai salah satu bagian dari industri pariwisata yang bergerak di bidang perhotelan turut merasakan dampaknya. Semenjak terjadinya peristiwa meluapnya lumpur Lapindo tersebut, terjadi penurunan tingkat hunian dan penurunan segmentasi pengunjung yang datang dengan keperluan rekreasi.

Berdasarkan konsep manajemen krisis menurut Steven Fink, permasalahan yang dihadapi oleh Klub Bunga Butik Resort tersebut mengindikasikan adanya situasi krisis yang disebabkan oleh sebuah kejadian yang tidak terduga, yakni peristiwa meluapnya lumpur Lapindo. Krisis yang dialami oleh Klub Bunga Butik Resort ini masih berada pada tahap awal (prodromal stage), dimana pada tahap ini sinyal-sinyal peringatan akan terjadinya krisis sudah terjadi. Jika perusahaan dapat menangkap dan mampu mengatasi permasalahan yang menjadi sinyal peringatan krisis tersebut dengan baik, dapat diasumsikan perusahaan akan terus hidup, demikian pula sebaliknya.

Dalam hal ini public relations Klub Bunga Butik Resort sebagai bagian dari manajemen yang berfungsi untuk mencegah terjadinya krisis telah menjalankan fungsinya dengan baik, yakni mampu melakukan identifikasi serta analisis terhadap permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan sebagai indikasi akan adanya krisis. Potensi public relations Klub Bunga Butik Resort yang baik ini belum diikuti dengan kesadaran akan pentingnya strategi khusus dalam menghadapi situasi krisis. Selama ini manajemen Klub Bunga Butik Resort hanya menggunakan strategi dari segi marketing untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi perusahaan, yakni dengan cara melakukan perluasan pasar ke daerah-daerah yang potensial. Melalui cara ini masalah penurunan tingkat hunian memang dapat diatasi, akan tetapi penurunan segmentasi pengunjung masih terus terjadi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari perusahaan mengingat penurunan segmentasi pegunjung dari pleasure ke convention ini membawa perubahan yang cukup signifikan bagi perusahaan karena telah menyimpang dari tujuan awal dan visi-misi perusahaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti melihat bahwa perlu adanya peran public relations yang optimal untuk menyusun langkah strategis public relations dalam mengatasi permasalahan ini. Konsep manajemen strategis public relations menurut James E. Grunig dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan strategi public relations. Untuk menghadapi situasi krisis ini, public relations Klub Bunga Butik Resort dapat memilih cara yang telah dilakukan sebelumnya, yakni melakukan sosialisasi jalur alternatif untuk menuju ke Klub Bunga Butik Resort tanpa melalui Porong, melainkan melalui Mojokerto-Jombang-Pare-Pujon-Batu. Dalam membentuk langkah strategis ini, public relations perlu untuk merumuskan kembali pesan yang akan disampaikan dan mengemas pesan tersebut dengan lebih baik agar dalam penyampaiannya dapat lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Newsom, Doug, et al. 1993. This is PR: The Realities of Public Relations, 5th ed. Belmont, California: Wadsworth.Inc.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Cutlip, Scott M., et al. 2006. Effective Public Relations, 9th ed., trans. Tri Wibowo, B.S. Jakarta: Kencana.

Soemirat, Soleh, dan Ardianto, Elvinaro. 2003. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Referensi Artikel/Berita

Evaluasi Perkembangan Ekonomi, Perbankan & Sistem Pembayaran Jawa Timur Triwulan II–2006,” 22 Maret 2007, diakses pada 5 Juni 2008 .

“Hotel di Malang Raya Mulai Terkena Lumpur Lapindo,ANTARA News, 5 Mei 2007, diakses pada 11 Mei 2008 <http://www.antara.co.id/arc/2007/5/5/hotel-di-malang-raya-mulai-terkena-lumpur-lapindo/>.

“Mungkin, 31 Tahun Kemudian Lumpur Lapindo Akan Habis!,” CerdasIndonesia.org,

25 Oktober 2006, diakses pada 5 Juni 2008 <http://www.cerdasindonesia.org/2006/10/25/mungkin-31-tahun-kemudian-semburan-lumpur-lapindo-akan-habis>.

Ancok, Djamaludin. “Kiat Menghadapi Krisis dalam Perusahaan.” 31 Oktober 2004. Diakses pada 22 April 2008 <http://www.mail-archive.com/mm-ugm@yahoogroups.com/maillist.html#00059>.

Bintariadi, Bibin. “Jasa Pariwisata Bangkrut Akibat Lumpur Lapindo,” TEMPO Interaktif. 9 Mei 2007. Diakses pada 22 Februari 2008, <http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/05/09/brk,20070509-99740,id.html>.

Riq/nuz/roz, “Dua Akses Tol Baru untuk Investasi,Jawa Pos 29 Mei 2008: 8.

Taufiq, Rohman TEMPO Interaktif, 15 Agustus 2007 dan 20Mei 2007, diakses pada 23 Maret 2008 <http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/08/15/brk,20070815-105606,id.html> dan <http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/05/20/brk,20070520-100270,id.html>.



[1]Evaluasi Perkembangan Ekonomi, Perbankan & Sistem Pembayaran Jawa Timur Triwulan II–2006,” 22 Maret 2007, diakses pada 5 Juni 2008 .

[2] Riq/nuz/roz, “Dua Akses Tol Baru untuk Investasi,Jawa Pos 29 Mei 2008: 8.

[4] Bibin Bintariadi, “Jasa Pariwisata Bangkrut Akibat Lumpur Lapindo,” TEMPO Interaktif, 9 Mei 2007, diakses pada 22 Februari 2008,

<http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/05/09/brk,20070509-99740,id.html>.

[5] ”Hotel di Malang Raya Mulai Terkena Lumpur Lapindo,ANTARA News, 5 Mei 2007, diakses pada 11 Mei 2008 <http://www.antara.co.id/arc/2007/5/5/hotel-di-malang-raya-mulai-terkena-lumpur-lapindo/>.

[6] Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto, Dasar-Dasar Public Relations (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 14.

[7] Scott M. Cutlip, et al., Effective Public Relations, 9th ed., trans. Tri Wibowo, B.S (Jakarta: Kencana, 2006), 327.

[8] Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), 222.

[9] Fink, Steven. 1986. Crisis Management: Planning for the Inevitable (New York: Amacom), dikutip dalam Djamaludin Ancok, “Kiat Menghadapi Krisis dalam Perusahaan,” 31 Oktober 2004, diakses pada 22 April 2008 <http://www.mail-archive.com/mm-ugm@yahoogroups.com/maillist.html#00059>.

[10] Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto 91.

[11] Cutlip, et al. 208, 218-219, 356.

[12] Kasali 46-47.

[13] Doug Newsom, et al., This is PR: The Realities of Public Relations, 5th ed. (Belmont, California: Wadsworth.Inc., 1993),542

[14] Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), 227-230.

[15] Ibid., 46-47.