Dalam sebuah kisah tentang Bahlul adalah seorang gila. Begitulah kesan para pedagang di pasar Baghdad dan begitu pula yang hinggap dalam pikiran anak-anak kecil yang berkeliaran di sekitar pasar itu. Betapa tidak, Bahlul memakai pakaian kasar yang sobek disana-sini; kadang tersenyum dan tertawa sendirian, rambut dan janggutnya dibiarkan tumbuh tak teratur. Walhasil, anak-anak sering mempermainkannya dan melemparinya dengan batu. Bahlul, sebagaimana layaknya orang gila, hanya tersenyum dan berkata, “Bagaimana mungkin, seseorang yang rida dan puas dengan Allah mengeluhkan sesuatu?”
Rupanya, akibat ucapannya itu Bahlul kemudian diuji oleh Allah. Sesudah tubuhnya semakin berdarah dan tak karuan akibat lemparan batu anak-anak tersebut, Bahlul menyeret tubuhnya menuju Bashrah, sambil berharap penduduk Bashrah lebih bisa bersikap ramah terhadap dirinya.
Hari sudah tengah malam ketika Bahlul tiba di pintu gerbang kota. Bahlul lapar, haus dan lelah, namun pintu gerbang kota telah ditutup. Dia harus menunggu sampai besok pagi. Udara dingin semakin menusuk tulangnya. Akhirnya Bahlul memutuskan berbaring disamping tubuh yang terbungkus selimut di salah satu pintu kota. “Siapa tahu dengan tidur berdekatan, aku bisa berlindung dari dinginnya malam,” begitu logika Bahlul.
Sayang, keesokan harinya, logika Bahlul malah mencelakakannya. Ternyata tubuh berselimut itu adalah mayat seseorang yang berlumuran darah. Tentu saja, keesokan paginya Bahlul dibawa ke kantor polisi karena dituduh membunuh orang tersebut. Sebagai pendatang baru tentu saja Bahlul tak bisa mencari saksi yang meringankannya. Bahlul segera dikirim ke tiang gantungan.
Esok harinya, di alun-alun kota telah berkumpul rakyat yang hendak menyaksikan eksekusi hukuman mati atas diri Bahlul. Sebelum eksekusi dilakukan, Bahlul dengan ketenangan yang luar biasa meminta ijin untuk berdo'a. Setelah berdo'a, tiba-tiba ada seorang manusia dari kerumunan massa yang berteriak meminta eksekusi dibatalkan. Orang tersebut segera menghadap sipir penjara dan mengaku dialah pembunuh yang sesungguhnya.
Massa terkejut. Segera meluncur pengakuan dari mulut orang itu; tentang siapa dia, siapa korban dan mengapa serta bagaimana dia membunuh korban. Bahlul dan orang tersebut dibawa ke Hakim. Hakim terpesona dengan kejadian ini. Lalu dia bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau mengaku?” Si pembunuh ini lalu bercerita, “Tiba-tiba hamba serasa terjatuh kedalam mulut seekor naga, yang mengancam kalau hamba tidak mengaku saat itu juga, maka ia akan menelan hamba.”
Terkejut dengan keanehan cerita si pembunuh, sang Hakim menoleh pada si Bahlul dan berkata, “Algojo bercerita bahwa kau berdo'a sebelum ekesekusi dilakukan dan si pembunuh itu lalu mengaku. Apa yang membuatmu yakin bahwa engkau tak bakal digantung?”
Bahlul, masih dengan sikap seperti orang gila, berkata, “Ketenangan hamba bukanlah karena merasa yakin bahwa hamba tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apa pun yang telah ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada kehendak-Nya. Pada gilirannya, hal ini membuat hamba demikian damai dan tenang.”
Tentang do'a yang dia panjatkan, inilah penuturan si Bahlul, “Wahai Tuhanku, aku tidak bersalah dan hampir saja mati karena kejahatan yang tidak kulakukan. Akan tetapi, aku tidak sedih, marah atau benci kepada-Mu. Engkau mengetahui siapa yang membunuh dan yang terbunuh, Engkau juga mengetahui mengapa segala sesuatu terjadi. Kini, aku sadar bahwa Engkaulah yang menuntunku pergi meninggalkan Baghdad dan datang ke kota ini. Engkaulah juga yang menuntunku tidur disamping mayat itu. Engkaulah yang meninggalkanku di sana dan polisi itu pun kemudian menemukanku. Karena itu lakukanlah apa yang Engkau kehendaki atas diriku, sebab Engkau dan hanya Engkau sajalah di belakang semua ini.”
Itulah Bahlul, si gila akan Allah, yang berkata pada sang Hakim, “Jika Dia memilih memberi hamba racun pahit dan mematikan, maka hamba akan menerimanya sebagai gula yang manis dan anugerah dari-Nya.”
Fariduddin Athtar, yang menuturkan kisah di atas dalam “Mushibatnama”, hendak melukislan kepada kita contoh akan kepasrahan seorang hamba, sebuah kepasrahan yang sering dianggap sebagai kegilaan. Literatur sufi menyebut bahwa si Bahlul ini bernama Abu Wahib ibn Amr dan wafat pada 812 Masehi. Begitu melegendanya kisah Bahlul sehingga sejumlah daerah di Indonesia pun akrab dengan kata Bahlul ini, sebuah kata yang bernada negatif. Sayang, tak banyak yang tahu bahwa dibalik kata Bahlul terdapat contoh kepasrahan total pada Tuhan, terdapat suri tauladan bagaimana kita mengganti ego dan kehendak kita dan berjalan di atas kehendak-Nya, juga mengandung lukisan indah akan keikhlasan menerima segala ketentuan-Nya. SELAMAT MENJADI BAHLUL